Selasa, 29 Desember 2020

HAMIL SUNDULAN PENUH PEMBELAJARAN


    “Di setiap peristiwa pasti ada hikmah. Mungkin kamu bisa kembali bersemangat dengan cepat setelah terjatuh. Tapi jangan lupa untuk mengambil hikmah dari kejadian ini. Kalau kamu lupa memaknainya, ya akan berlalu begitu saja..”, Bu Erma menasehatiku setelah aku gagal ujian skripsi. Bukan hanya gagal di ujian tapi harus ganti judul penelitian. Rasanya hancur saat itu. Aku menangis seakan nggak percaya aku bisa mengalami kegagalan setelah semua sudah kupersiapkan dengan baik. Aku tetap tegar dan  langsung mengerjakan apa instruksi para dosen penguji. Yup, aku tergolong cepat move on. Itulah kenapa Bu Erma menasehatiku agar aku tidak lupa mengevaluasi diri kenapa ini bisa terjadi.
Wejangan Bu Erma selalu teringat di saat aku mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Di saat aku ingin segera bergerak lagi, aku menahan diri untuk berpikir sejenak. Oh jadi ini yang kurang tepat dan harus diperbaiki.. Otakku lega di saat aku sudah mencapai kalimat itu.
Dua tahun kemudian aku mendapatkan kegagalan lagi dalam hidupku. Kenapa gagal? Ya karena jauh dari ekspektasiku. Menurutku hasilnya tidak layak untuk sebuah perjuanganku. Aku melahirkan secara sesar di saat aku sudah mengusahakan ingin bersalin normal sedari awal. Kan sama aja kamu tetap jadi seorang ibu bagaimanapun proses persalinanmu.. Ah dulu aku belum teredukasi soal itu. Aku ingat betul saat tetangga menjenguk dan berkata sembari tertawa “lahiran jaman sekarang enak ya nggak usah ngeden sudah keluar....”. Aku langsung pergi ke dapur saat itu dan menangis sejadi-jadinya. Sampai suatu hari suami bilang hampir stress melihatku setiap hari menangis pasca melahirkan saat itu. 
    Dari awal kehamilan sampai mau melahirkan aku benar-benar menjaga diri. Dari segi kebiasaan, asupan yang bergizi, senam hamil, dan baca banyak buku tentang kehamilan. Saat dokter memvonis aku harus operasi sesar di proses pembukaan ke 4, aku sudah tidak berdaya untuk berargumen seperti sebelumnya. Aku hanya menatap kosong. Bahkan sampai anakku lahir aku merasa ada sesuatu yang masi mengganjal. Kebahagiaanku serasa tak sempurna. 
    Aku menuangkan semua ketidakrelaanku di dalam buku harian. Aku cepat move on, tapi aku harus menahan diri dan menggali hikmah tentang kejadian ini. Aku menulis bahwa Allah memberiku banyak hikmah yang salah satunya adalah kesempatan untuk VBAC (Vaginal Birth after Caesarian) di persalinan ke dua. Aku langsung menulis tekadku untuk VBAC saat itu juga.
Anak pertama adalah guru pertama untuk sang ibu belajar. Aku fokus di ASI ekslusif untuk Pandu, anak pertamaku.  Aku ingin mengASIhi sampai 2 tahun. Tapi, tak disangka aku hamil lagi saat usia Pandu 7 bulan. Apa nggak KB? Sebenarnya pakai KB tapi sudah di luar kuasa kita..  Aku terkejut bukan main. Ekspresi suami saat tahu kabar ini juga tak sama dengan ekspresi saat tahu kabar kehamilan pertama. Orang bilang ini hamil sundulan. Jaraknya terlalu dekat. Di daerahku katanya ini agak memalukan. Aku heran kenapa harus malu wong jelas siapa ayahnya. Wkwkw ☺
Perayaan 7 bulan Pandu sudah hamil adiknya

Di luar pikiran orang lain, aku justru bahagia dengan kehamilan ini. Aku merasa tertantang untuk memperbaiki yang terjadi sebelumnya. Tantangan terberat adalah menyampaikan hal ini pada ibu. Rasanya campur aduk. Karena beliau tahu bahwa jarak kehamilanku harusnya dijaga. Aku menyampaikan kabar ini dengan sangat hati-hati dan menampakkan diri bahwa aku baik-baik saja. Tantangan kedua adalah mata dan mulut tetangga. Yup aku tinggal di daerah pedesaan yang mulut tetangga kalau di instagram ibarat mulut netizen. Ada perkataan dari mulut A yang sampai padaku melalui mulut B, “Eh itu lhooo ..masak pendidikan lulus sarjana kok bisa kesundulan..” Apa hubungannya hayoo?.. Banyak tetangga yang hanya berani melihat diam tanpa menegur padaku saat perut mulai menggelembung. Entah apa yang di benak mereka, Alhamdulillah aku sudah teredukasi saat itu. Yang penting aku nyaman. Aku harus bahagia menjalani kehamilan ini seperti kehamilan pertama. Hal unik adalah saat ada bidan desa yang bilang ke tetangga agar menyampaikan ke ibuku untuk membujukku periksa ke dokter. Beliau adalah bidan yang memvonisku sesar pertama kali. Kenapa aku nggak ke dokter? Karena nggak mau sesar lagi. Itu saja. *ini pikiranku dulu ya..
    Aku bersyukur saat itu aku mengedepankan positive thinking. Aku tak peduli apa yang orang bilang. Aku masih menyusui Pandu meski ASI mulai berkurang. Aku mengatur fokusku untuk menikmati masa berdua dengan Pandu dan memperispkan VBAC. 
Meskipun tidak ke dokter tapi aku tetap periksa ke bidan. Aku tetap melakukan USG, meminum vitamin, senam hamil, dan konsumsi asupan gizi dengan rutin. Aku mengikuti kelas VBAC dari yang gratis hingga yang berbayar. Kenapa tetap tidak ke dokter? Karena aku tahu di daerahku belum ada dokter yang mendukung keputusanku untuk VBAC jarak dekat seperti yang kuinginkan. 
    Pemeriksaan awal sekitar umur kandungan 2 bulan, aku memutuskan untuk periksa ke Jogja. Ada klinik yang kutuju di sana. Sedari awal aku sudah mematangkan rencana persalinanku akan di Jogja yang jaraknya 4 jam dari rumah. 
Oke, hari-hari aku lalui dengan suka hati. Aku yakin aku kuat menjalani semua ini. Allah memberikan amanat pasti sepaket dengan kemampuan si penerima. Aku beraktifitas lebih rajin dari biasa. Bahkan saat itu aku proses membangun rumah. Ingin sekali saat bayi lahir aku sudah bisa di rumah sendiri. Usahaku juga pas rame. Aku wara-wiri seperti biasa. Yah intinya aku tidak ingin terlihat lemah dan membuat keluargaku tidak yakin akan keputusanku VBAC. Pernah kejadian aku terjatuh dari sepeda motor saat hamil besar. Aku bangun sendiri dan tak cerita pada keluarga bahkan sampai sekarang. Aku rutin menulis motivasi diri untuk VBAC dan memperkaya diri dengan pengetahuan tentang kehamilan. 
Dulu saat kehamilan pertama, aku sangat berhati-hati dengan semua hal. Tapi beda di kehamialn ke dua ini, aku lebih longgar terhadap apapun. Tidak apa makan pedas, tidak apa nyetir jauh, tidak apa olahraga, tidak apa nggendong Pandu di atas perut gede. Semua kujalani dengan semangat sembari melakukan sounding pada Pandu bahwa ia akan punya adik yang lucu sebentar lagi. Keluarga mulai berkomentar bahwa Pandu terlihat lebih kurus. Dibilangnya kurang ASI. Dibilang juga bahwa ASI ibu hamil tidak baik diberikan pada anak. Aku diam saja. Semua yang kujalani sudah berdasarkan pencarian fakta dan bukan mitos. Bukan hanya buku, aku belajar dari yang sudah sukses melakukan VBAC dan juga dari tenaga kesehatan yang berpengalaman menangani VBAC. 
Meskipun menggebu, tiada rasa khawatir  apakah VBAC  akan berhasil atau gagal. Aku berdamai dengan segala kemungkinan. Proses yang kujalani adalah hal baik dan pasti akan berdampak baik. Sisanya adalah skenario Allah yang indah. Hati ini tenang dan pasrah. Hingga di awal trismester ketiga, aku mulai goyah terhadap rencana persalinan di Jogja. HPLku adalah saat libur lebaran. Banyak hal yang memungkinkan aku batal ke Jogja. Aku keliling mencari bidan yang mau membantu di daerahku. Penolakan sudah biasa. Hingga aku menemukan bidan yang sangat mendukung dan ternyata jarak kliniknya cukup dekat dengan rumah. Aku fix akan bersalin di sana. Oke.. aku bersyukur sekali.
Aku memperbaiki ibadah dan hubungan dengan suami. Aku merasa saat itu adalah aku versi terbaikku. Aku serasa memantaskan diri untuk mencapai apa yang kuinginkan. Aku tahu Ibu meragukanku. Sebagai anak bungsu yang manja, keputusanku untuk VBAC ini tergolong berani. Suami yang terkadang terlihat ragu memilih diam saja daripada berkata salah padaku. Aku merasakan tak ada yang lebih yakin daripada diriku sendiri. Aku sehat dan bugar. Aku bahagia juga. 
Kertas birth planku sudah jadi. Aku tahu apa yang harus aku lakukan saat kontraksi datang. Aku merasa sangat siap. Kesiapan ini tentu karena aku memberdayakan diri sedari awal. Tidak hanya modal nekat. Aku tak peduli saat ada perkataan “kok bayinya masih di atas banget, seharusnya kan sudah turun..”. Haha dalam hati aku berkata biarin aja emang belom waktunya turun... Belum tahu aja dia bahwa aku bisa palpasi sendiri. Aku tahu bagaimana posisi bayiku setiap harinya. Aku tak berniat masa bodoh terhadap perkataan dari luar. Aku hanya merasa aku sangat yakin akan tekadku dan hatiku. Aku merasa aman dan nyaman terhadap proses ini. 
Pagi hari di saat aku mulai kontraksi, aku bersikap wajar dan suami tetap berangkat kerja. Aku bertahan selama mungkin di rumah agar bisa menikmati semuanya tanpa intervensi di luar. Dan siang itu, semua benar-benar di luar rencana. Anak keduaku lahir di tempat tidurku sendiri. Persalinan dibantu oleh bidan desa yang sebelumnya selalu menyarankan aku ke dokter. Bidan tersebut yang menolong persalinanku karena  pembukaan sudah lengkap saat beliau datang ke rumah. Lega sekali. Salah satu pencapaian dalam hidupku. Allah merestui keinginanku.
Perayaan 7 bulan Alim (bagi gendong)


Kehamilan dan persalinan ke dua ini penuh dengan pembelajaran berarti. Kini aku mengasuh mereka sepenuh hati. Dua balita laki-laki dengan jarak kelahiran 16 bulan. Sekarang tantangannya beda lagi. “Loh kok adiknya lebih besar dariapda kakaknya?”, “Kembar ya” dan  “ Ow sundulan”. Senyumin aja apa kata netizen mah. Artis aja kuat masa aku nggak kuat. Hihi
Aku terus belajar menjadi seorang ibu. Aku semakin sadar bahwa seorang Ibu harus terus belajar dan aku yakin dengan ilmu seorang Ibu akan tahu bagaimana cara bahagia. Kini aku membersamai tumbuh kembang anak dari rumah seraya menjalankan bisnis. Salah satu akun yang manfaat banget untuk ibu muda seperti aku adalah @TheAsianParent_Id . Jujur aku banyak terbantu dari akun gudang ilmu para orang tua ini. Terlebih lagi aku juga mendapat banyak inspirasi untuk konten promosi usahaku yang target marketnya adalah ibu muda. Versi web bisa di cek di https://id.theasianparent.com/. Terima kasih sudah membaca sedikit curahan hati ini. Kalau mau versi panjang kali lebarnya bisa banget kopi darat hehhee… So, apakah melahirkan secara normal lebih enak daripada sesar? Bukan di situ ya esensi nya. Keduanya sama membahagiakan. Seperti kata Ringgo dalam di sini , “melahirkan dengan metode apapun, perjuangan Ibu tetaplah spesial.”


______