Selasa, 22 Desember 2015

SETAHUN DORABON, ALHAMDULILLAH..

Tanggal 10 januari 2016 nanti adalah tepat setahun Dorabon. Aku mempersiapkan beberapa merchandise untuk keluarga serta karyawan Dorabon untuk kenang-kenangan. Setahun yang lalu, tepatnya 10 januari 2015 aku mulai mencatat keuangan Dorabon. Aku memulai membuat administrasi dorabon dengan baik. Khususnya keuangan. Pencatatan tentang Dorabon dimulai sejak saat itu hingga akhirnya hari itu diputuskan untuk menjadi hari lahir Dorabon. Kalu ditanya kapan awal mula jualan Dorabon, tepatnya adalah 14 November 2015 aku sudah mulai melaunching Dorabon setelah lebih dari 10 kali melakukan trial error untuk menciptakan abon ayam kriuk produk pertama Dorabon. Waktu itu masih dengan merk Bonabon. Kemasan pun masih apa adanya.  

Banyak yang terjadi selama setahun ini. Yang jelas aku sangat sangat  bersyukur semua berjalan dengan lancar. Kendala-kendala yang ada adalah bagian dari proses yang harus aku lalui untuk mengembangkan usaha ini. Harga bahan baku yanng melambung, komplain konsumen, salah beli mesin, hingga usaha keras untuk melunasi hutang Dorabon. Alhamdulillah semua terlewati dengan sangat baik. Aku merasa kasih sayang Alloh nggak ada habis-habisnya. 

Sebelumnya aku menjalankan usaha bersama dengan tim yaitu teman kuliah. Ada pembagian tugas di sana. Dan sekarang, semua benar-benar kulakukan dengan mandiri, owner merangkap admin, marketing, hingga kurir xixixixi. 

Kekuatan terbesar adalah kekuatan doa dari orang tua dan juga dukungan mereka. Selama ini ibu selalu mendoakan agar usaha ini berkembang sesuai dengan cita-citaku. Ibu selalu ikut terjun di dapur dan mengarahkan proses produksi agar lebih efektif dan efisien. Peralatan dapur hingga kompor juga masih numpang memakai punya Ibu. Bapak membantu memperbaiki alat dapur yang rusak, menyiapkan kayu bakar, bahkan sampai mencarikan sereh di kebun. Tak ada yang lebih mengharukan. Dukungan suami, kakak, dan seluruh anggota keluarga adalah motivasi terbesar. Teman-teman dekat juga banyak sekali yang menyemangati, mendoakan, serta memberi banyak masukan yang amat berarti. Dan alhamdulillah, selama perjalanan setahun Dorabon banyak sekali bertemu dengan orang baik. Website, desain label, brosur, neonbox, kartu nama, pembentukan harga, hampir semuanya... selalu ada orang yang berjasa di tiap bagian. Seakan-akan Dorabon adalah milik semua. Aku? Aku hanya anak yang beruntung.

Resolusi di awal tahun 2015, aku ingin Dorabon mempunyai 2 karyawan karena saat itu masih 1 karyawan. Alhamdulillah terpenuhi. Di tengah tahun 2015 aku menargetkan hutang dorabon lunas dan alhamdulillah terealisasi sesuai target yaitu di bulan Oktober 2015. Mesin-mesin produksi Dorabon sudah resmi 100 % menjadi aset Dorabon.

Tentang penjualan, mmm... grafiknya tidak cenderung naik. Masih naik turun. Namanya juga usaha, apalagi produk Dorabon belum dikenal secara luas. Masih perlu usaha keras untuk penetrasi pasar. Omset yang naik turun adalah tantangan tersendiri. Yang penting aku tetap kebagian gaji yang cukup. Kebahagiaan tersendiri adalah dapat membuka pekerjaan bagi 2 karyawan Dorabon meskipun belum gaji tetap. Dan bertambahnya pengalamanku dalam berjualan sungguh sangat mengasyikkan. Berkenalan dengan banyak orang baru, menjalin keakraban dengan reseller serta saling berbagi ilmu penjualan, serta menemui banyak tipe konsumen yang kadang mengaduk emosi. Alhamdulillah... Alhamdulillah... 

Resolusi Dorabon untuk 2016 sudah menanti. Semoga Dorabon menjadi produk yang bermanfaat, dan aku tetap semangat!

Apapu pilihan hidupmu, pastikan itu baik, yakini,,,perjuangkan!


Rabu, 18 November 2015

BU TATIK PAHLAWANKU



Tahun ini aku tidak berjumpa dengan beliau seperti saat lebaran-lebaran sebelumnya. Ada sedikit rasa menyesal. Tapi aku yakin beliau akan mengerti. Dua belas tahun berlalu semenjak aku pensiun dari Sekolah Dasar (SD). Semenjak itu pula aku selalu berkunjung ke rumah guru-guru SD di saat lebaran. Iya, hanya di saat lebaran. Tapi memang itulah saat yang tepat. Aku seperti orang Indonesia pada umumnya yang saat lebaran ingin berkunjung bersilaturahim dengan orang-orang tersayang. Sempat terbesit bisikan teman “Buat apa ke guru SD? Kan kita setahun lamanya belum tentu bertemu dengan mereka jadi kita nggak punya salah donk!.” Itulah alasan mereka saat kuajak untuk ikut denganku. Aku tak terpengaruh sedikitpun dengan perkataan temanku. Itulah sebabnya setiap tahun aku berkunjung ke rumah guru dengan teman berbeda-beda. Setelah beranjak dewasa, aku mulai berfikir kenapa guru SD amat berkesan untukku. 

Aku ingat sekali saat kelas 1 SD adalah pertama kalinya aku mengenal soal pilihan ganda. Aku adalah salah satu murid yang kena jewer karena tak paham bagaimana cara mengerjakan soal pilihan ganda. Tenyata soal pilihan ganda adalah bentuk soal yang aku jumpai pada 3 kali ujian nasional, tes masuk perguruan tinggi, tes TOEFL, mengisi kuosioner, dan banyak lainnya. Guru SD adalah guru yang pertama kali mengajari kita banyak hal.

Saat SD aku merasa tak pintar. Aku tak menonjol di salah satu mata pelajaran. Aku iri dengan temanku Sarjuni yang ahli IPS, atau Iis yang ahli olahraga. Mereka mengikuti olimpiade dimana-mana. Sampai pada saatnya kelas 5 SD, Bu Tatik Guru Bahasa Indonesia memberikan kami tugas menulis cerita saat liburan. Bu Tatik menunjukku maju pertama kali membacakan karyaku. Bu Tatik memuji karanganku. Beliau mengkritik aku menggunakan satu kata ganti yang kurang tepat, namun sempurna untuk lainnya. Aku merasa menjadi terbaik saat itu. Mungkin ada sedikit rasa sombong. Tapi yang menakjubkan adalah sejak saat itu aku lebih percaya diri bahwa ternyata aku bisa mengarang. Dan semenjak itulah aku rutin menulis buku harian. Kebiasaan yang kujalani sampai sekarang. Aku suka sekali menulis.  Terlebih lagi membuat cerita. Aku bahagia salah satu tulisanku berhasil menjadi juara di kontes kepenulisan dan 2 tulisanku sudah diterbitkan dalam bentuk antologi. Bu Tatik yang mengubahku dari “tidak tahu” menjadi “tahu” bahwa aku bisa menulis. Saat umur SD itulah kita menjadi sepolos-polosnya anak belum tercemari oleh realitas dunia yang sebenarnya. Apa yang akan diberikan pada kita  akan lebih mengena dan  terbawa sampai dewasa. Aku merasa Guru SD  adalah pahlawan dalam ketulusan yang sebenar-benarnya. Apa yang mereka harapkan dari anak polos yang membersihkan ingus saja tak sempurna? Tak ada pamrih yang diharapkan. Hanya ketulusan yang mereka punya. Pemikiran yang ditanamkan Bu Tatik bahwa aku bisa menulis adalah jasa besar.

Tahun ini aku hamil dan tak memungkinkan berkunjung ke rumah Bu Tatik. Tapi aku berjanji akan mengenalkan anakku pada Bu Tatik, pahlawan bunda mereka. Saat aku menulis cerita ini, aku baru saja mendapat pengumuman bahwa aku mendapat juara 3 lomba menulis cerpen oleh sebuah PTN. Aku persembahkan piala ini untuk anak dalam kandunganku dan untuk Bu Tatik pahlawanku. Aku berjanji akan terus menulis untuk menjadi kebanggaanmu.


*Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" . Info lebih lanjut bisa ke http://lagaligo.org/lomba-menulis.

Selasa, 17 November 2015

FATIM



              Kini aku percaya bahwa wanita sholeha adalah perhiasan dunia tiada tara. Aku melihatnya di depan mataku sendiri. Fatim, istri jelita yang kudoakankan masuk  syurga atas ridhoku. Bagaimana tidak, jika semua yang ia lakukan membuatku terkagum dan ingin lebih menyayanginya. Sampai tersadar akan nasehatnya bahwa sebaiknya aku mencintainya sederhana saja.
            Fatim, nama yang indah yang mengandung arti pendiam, lembut, anak rasulullah, dan merupakan salah satu dari empat wanita sempurna yang disebut di dalam Alquran. Aku menikahinya setahun yang lalu. Aku menikmati setiap detiknya. Aku ingat waktu itu aku meminangnya karena dia adalah wanita yang manut[1]. Aku datang melamar menjelang ia wisuda sarjana. Tanpa aku meminta, ia siap untuk menjadi ibu rumah tangga. Meskipun sebenarnya aku mengijinkan apapun aktifitas yang ia mau asalkan seijinku.
            Malam sudah mulai larut. Aku mulai mendengar suara langkah kucing di atap. Lalu lalang di jalan raya mulai sepi. Aku merebahkan badan di kasur dan menggeser-geser touch screen HP. Mulai kubaca berita ekonomi hari ini. Isu krisis seperti menghantui. Mataku melirik Fatim penasaran apa yang sedang ia kerjakan. Fatim sudah memakai baju tidur warna krem kesukaanku.
            “Mas, aku mau buka laptop boleh?” Fatim bertanya padaku dengan senyum manis.
            Aku terdiam 3 detik demi menikmatinya, “Mau ngapain? Nulis lagi?”
            Ia mengangguk dengan tetap tersenyum. Akupun reflek mengangguk mengikuti. Laptop di atas meja langsung ia buka dan tak sampai semenit suasana menjadi hening demi mendengarkan decak keyboard.
            “Dik...” Aku meletakkan HP. Fatim langsung menoleh padaku dan mengeluarkan senyum manisnya lagi.
            “Kenapa kau tidak menerbitkan buku saja? Kan lumayan nanti akan ada royalti. Atau nerbitin buku indie saja. Pembacamu sudah banyak kan?!”
            Fatim menghentikan jemarinya yang tadinya menari. Ia mengernyitkan dahi memandangku tajam.
            “Apa ada yang salah dengan ucapanku?”
            “Emmm, tidak Mas. Tapi bukan itu tujuanku menulis. Entah nanti akan terbit menjadi  buku atau tidak, aku tidak peduli. Aku menulis agar pikiranku sampai pada pembaca. Itu sudah cukup. Semoga saja tulisanku bisa menjadi amal ibadahku.”
            “Iya. Aku tahu. Em tapi jika hobi bisa jadi uang kenapa tidak?” Aku melanjutkan pendapatku.
            Fatim kembali mengernyitkan dahinya melihatku heran.
            “Apakah aktifitasku menulis mengganggu kewajibanku sebagai istri, Mas?”
            Aku menggeleng cepat. Tentu tidak. Fatim menulis saat aku berangkat bekerja dan malam hari menjelang tidur. Sebelum tidur ia rutin membaca buku atau menulis. Aku ingat saat pengantin baru, ia meminta dibelikan rak buku kecil. Belanja bulanannya pun adalah buku. Saat aku minta pendapatnya atas masalahku, ia bisa menasehati dengan baik dan membuatku lebih tenang. Ah, Fatim.. hanya pesonanya yang menggangguku.
            Aku adalah tipe manusia yang tidak suka membaca. Seringkali aku cengengesan dan mengharap Fatim membacakan buku demi menceritakan isinya padaku. Sungguh malasnya diriku. Bertolak belakang dengan Fatim yang  pintar dan mempunyai potensi dalam tulis menulis. Aku berfikir kenapa tidak diberdayakan saja?
            “Akhir-akhir ini kamu menulis lebih rutin. Nulis apa sih?” Aku mengalihkan pembicaraan.
            “Ya karena Mas udah nggak ngijinin aku naik motor lagi, aku mengalihkan fokus ke nulis lebih banyak agar tidak jenuh di rumah.” Jawabnya dengan datar.
            Fatim sedang hamil 7 bulan. Aku melarangnya naik motor karena khawatir akan kandungannya. Biasanya, hampir setiap hari ia keluar untuk mengantar paket ke jasa pengiriman. Meskipun Fatim tidak bekerja di luar rumah, kemauannya untuk berkarya sangat tinggi.
            “Iya, tapi kamu nulis apa? Jangan mainan Facebook! ” Aku melirik laptopnya yang menampakkan back ground dominan biru.
            “Hmm, Aku nulis diari hamil Mas. Aku mengumpulkan referensi dari banyak sumber tentang ilmu seputar kehamilan, aku juga menulis pengalaman hamilku. Harapannya nanti bisa aku baca untuk kehamilan kedua. Juga bisa jadi ilmu buat teman jika ada yang tanya-tanya. Hehhe!“ Fatim semangat menjelaskan.
            “Wah bagus tu... aku lihat ada artis juga bikin buku diari hamil dan laris di pasaran lho! Kamu juga bisa Dik!” Aku mengepalkan tangan menyemangati Fatim.
            “Emmm, boleh sih tapi belum masuk prioritas. Menerbitkan buku mah tujuannya harus benar, isinya juga nggak asal-asalan. Dunia kehamilan juga bukan bidangku Mas. Kalau di usaha memang tujuanku jualan, memberikan solusi makanan sehat pada konsumen. Kalau soal tulis menulis, emmm beda jauh ah!.” Fatim mengangkat bahunya.
            “Tujuan orang jadi penulis kan untuk mendapatkan royalti. Kok kamu aneh gitu sih?!” Aku ganti mengernyitkan dahi. Aku gemas dengan istriku yang tak tanggap maksudku. Sebentar lagi ia akan melahirkan. Lalu tahun depan kami berencana mambangun rumah. Terbayang sudah kebutuhan rumah tangga kami yang semakin banyak.
            Fatim mulai terusik dengan perkataanku. Ia bangkit dari kursi lalu menghadapkan kursinya padaku. “Aku dulu sudah pernah bilang, aku masih perlu banyak belajar Mas. Aku ingin bisa menulis dari hati, agar juga bisa sampai ke hati pembaca. Aku buka Facebook juga nggak main-main, kemarin aku menulis opini tentang darurat asap di Sumatera dan ternyata banyak yang komentar. Aku nggak bertujuan buruk. Justru tulisanku aku usahakan solutif, tidak hanya mengritik. Saat tulisanku banyak dishare, aku berdoa semoga manfaatnya meluas. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Kita harus jadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain kan? Dan ini adalah caraku, menjadi penulis. Mas sih nggak pernah mau baca tulisanku..”
            “Kamu kan tahu aku malas baca!” Aku memalingkan pandanganku dari Fatim. Aku sebal jika ia membahas kekuranganku yang satu ini.
            “Padahal wahyu pertama di Alquran berbunyi iqro yang artinya “Bacalah”. Kalau baca aja nggak mau gimana mau ngerti!” Fatim tertular emosiku. Kulirik ia beranjak keluar kamar. Mungkin mencari angin segar. Tiba-tiba udara di dalam kamar memang terasa sangat panas.Huh!

..................................................

            “Maaf Ukhti, saya ada 2 pertanyaan yang perlu ukhti jawab.”
            “Silahkan, saya usahakan menjawab semampu saya.”
            “Rumah tangga yang bagaimana yang ukhti inginkan? Terutama pendidikan untuk anak.”
            “Saya mengidamkan rumah tangga yang berprinsip mengutamakan manfaat untuk sekitar. Untuk pendidikan anak-anak, itulah kenapa saya memilih tidak bekerja di luar rumah. Saya ingin maksimal dalam mendidik anak. Saya mempercayai bahwa itu adalah peran terbesar yang seharusnya wanita lakukan yaitu mencetak generasi yang soleh dan berkompetensi. Saya juga ingin menanamkan prinsip kebermanfaatan dalam mendidik anak. Setiap dari kita harus bermanfaat untuk sekitar, negara, dan agama. Oleh katena itu, caranya adalah dengan memaksimalkan potensi yang kita miliki.”
            “Apa profesi yang ukhti inginkan setelah menikah?”
            “Saya ingin mengurus rumah tangga. Itu tugas utama. Namun, saya sudah mempunyai usaha yang berdiri setahun ini. Saya memproduksi makanan sehat. Saya ingin melanjutkan usaha itu. Oh ya, Saya tidak bisa lepas dari kegiatan menulis. Saya sangat suka membaca dan menulis. Saya senang saat pikiran yang saya tuangkan dapat dibaca orang banyak.”
           
...............................

            Aku menerawang atap kamar. Tak terbayangkan malam ini akan berakhir seperti ini. Sepertinya hawa penyesalan mulai terhirup olehku. Hawa penyesalan yang muncul dari diriku sendiri. Aku mencari-cari dimana kesalahanku. Apakah aktifitas menulis Fatim mulai mengganggu rumah tangga kami? Tidak. Apakah budgetnya untuk membeli buku bulanan berlebihan? Tidak juga. Apakah aktifitasnya menulis mengusik keuangan rumah tangga? Tidak. Apakah aku yang terusik dengan pikiranku tentang keuangan rumah tangga? Oh, iya!
            Aku berusaha melakukan instropeksi diri. Aku tahu Fatim juga sedang melakukannya di luar kamar. Kuangkat bantal dan kututupkan pada mukaku. Aku menutup mata mencoba menenangkan pikiran.
Akhir-akhir ini hasil penjualan daganganku menurun. Ditambah lagi beberapa teman mengeluh padaku tentang biaya persalinan yang tak murah. Hmm, aku kini tahu dimana salahku. Aku langsung mengucap istighfar. Tak selayaknya aku mengharapkan materi dari aktifitas Fatim. Sebagai suami, aku merasa mempermalukan diriku sendiri.
            Aku teringat pada Fatim. Pada tulisan-tulisannya. Meskipun aku adalah seorang yang malas membaca, setidaknya aku pernah 3 kali mengunjungi blog Fatim. Aku ingat apa yang ia ceritakan di profil. Ia sangat menyukai menulis. Ia percaya bahwa tulisan dapat mengubah dunia, apalagi negeri ini. Ia mencintai Indonesia dengan menulis. Ia peduli lingkungan dengan menulis. Ia semangat sekali saat menulis. Fatim berkata bahwa kita semua punya peran masing-masing untuk berkarya demi memajukan negeri ini. Biarlah presiden memimpin dengan bijak, biarlah siswa belajar dengan tekun, biarlah petani menanam dengan ikhlas, biarlah pedagang bertransaksi dengan jujur, dan biarlah penulis menulis dengan hati. Banyak sekali tulisan Fatim yang dishare  pembacanya. Ada juga yang pro dan kontra akan pendapatnya. Namun Fatim adalah istriku yang bijak. Ia hanya ingin menulis, menulis, dan menulis.
Fatim berkata ia bahagia dengan menulis. Aku tahu hal itu dari awal. Sungguh fatal kesalahanku. Aku hampir membelokkan niat menulisnya untuk kepentinganku. Aku mengusik kebahagiaannya. Aku harus minta maaf. Kubuka bantal penutup wajahku. Aku terhenyak.
“Maafkan aku Mas, aku bukanlah penulis, aku adalah istrimu..” Fatim sudah berdiri di hadapanku membawa segelas wedang tape kesukaanku.
Aku langsung tersenyum haru. Bagaimana bisa aku tak semakin mencintainya. Kuraih Fatim untuk duduk di sampingku. Aku mengelus perutnya yang membesar. Ia tersenyum senang.
“Nak, jika kau sudah besar, aku ingin kau seperti ibumu...”
Senyum Fatim sungguh manis. Semoga wedang tapenya juga begitu.




[1] penurut


*Alhamdulillah... cerpen ini menjadi Juara 3 Lomba Cerpen Scientist Muslimah Event 2015 oleh KMFM UGM :) . 
*Karya special bersama Dekbay, trophynya buat Dekbay :) 

Selasa, 10 November 2015

Pangeran Adinata (dongeng)



Pada jaman dahulu ada sebuah kerajaan yang sangat terkenal karena wilayahnya yang luas dan makmur. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Aira. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bijak yang memiliki 3 pangeran kembar.
            Pada suatu hari, terjadi pertengkaran hebat di antara 3 pangeran yang membuat Sang Raja marah.
            “Tidak sepantasnya kalian bertengkar seperti ini! Apa gerangan yang menjadi penyebabnya?” Sang Raja bertanya kepada ketiga putranya.
            Pangeran pertama menjawab, “Kami berdebat tentang siapa yang akan menjadi raja selanjutnya.”
            Sang Raja langsung memikirkan jalan keluar agar pertengkaran tidak berlanjut.
            Keesokan harinya Sang Raja mengundang 3 putranya ke ruang sidang. Semua pejabat istana turut hadir untuk mendengarkan pengumuman penting hari itu.
            Raja berkata, “Aku akan memberikan pengumuman penting khususnya untuk ketiga putraku. Aku akan memilih siapa di antara mereka yang layak menempati singgasana raja menggantikanku. Oleh karena itu, aku ingin menguji kemampuan mereka dalam memimpin. Apakah kalian siap?”
            Pangeran pertama, pangeran kedua, dan pangeran ketiga menjawab serentak, “Siap!”
            Sang Raja melanjutkan, “Di depan kalian masing-masing ada bejana yang berisi sesuatu yang sangat berharga. Ia adalah sumber kemakmuran Kerajaan Aira. Seorang Raja Aira harus mampu melestarikan apa yang ada di dalam bejana ini agar rakyat senantiasa makmur dan sejahtera.”
            “Bolehkah kami membuka bejana ini?” Pangeran kedua bertanya penasaran.
            “Belum boleh! Masih ada pengumuman selanjutnya yang lebih penting. Kerajaan Aira dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Wilayah Barat, Wilayah Tengah, dan Wilayah Timur. Selama 5 tahun ke depan, aku tugaskan kalian untuk keluar istana dan memimpin wilayah bagian kalian masing-masing.  Pangeran pertama memimpin Wilayah Barat, pangeran kedua memimpin Wilayah Tengah, dan pangeran ketiga memimpin Wilayah Timur.” Sang Raja menjelaskan.
            Ketiga pangeran sumringah mendengar penugasan itu. Mereka bertekad untuk membuktikan bahwa mereka layak menjadi Raja Aira.
            “Setelah ini, bawa masing-masing bejana kalian dan bukalah di wilayah masing-masing. Isi dari bejana itu adalah kunci keberhasilan kepemimpinan kalian.” Sang Raja menutup pengumuman hari itu.
           
............................

            Selama 5 tahun ketiga pangeran memimpin wilayahnya masing-masing. Sang Raja telah menugaskan seorang patih untuk mengamati kepemimpinan ketiga putranya. Sang Patih bertugas melaporkan hasil kepemimpinan yang dilakukan oleh ketiga pangeran.
            Lima tahun berlalu.
            Hari ini adalah hari tepat 5 tahun setelah ketiga pangeran pergi dari istana. Hari ini mereka harus kembali ke istana dan melaporkan keadaan wilayah yang telah mereka pimpin.Suasana haru menyelimuti istana. Sang Raja memeluk putranya satu persatu karena rindu.
            “Aku sungguh sangat merindukan kalian kembali ke istana ini.” Sang Raja tersenyum senang. “Aku sudah tidak sabar mendengarkan pengalaman kalian selama bertugas.”
            Setelah ketiga pangeran beristirahat, dilakukan pertemuan istana yang sangat penting. Semua pejabat dan warga istana dikumpulkan untuk mendengarkan cerita dari ketiga pangeran.
            “Hari ini aku ingin mendengarkan pengalaman kalian satu persatu. Ayo siapa yang mau bercerita?”
            Pangeran pertama mengangkat tangan, “Saya sungguh salut denganmu Baginda. Setelah terjun memimpin rakyat secara langsung, saya mengerti bahwa ternyata menjadi pemimpin itu tidak mudah. Apalagi menjadi raja dari kerajaan sebesar Kerajaan Aira. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar Wilayah Barat dapat maju. Ekonomi rakyat memang semakin berkembang. Namun saya menyesal karena meninggalkan Wilayah Barat dalam keadaan banjir panjang di saat musim hujan seperti ini. Air bersih semakin langka. Saya menyerah Baginda.”
            Pangeran kedua mengangkat tangan, “Saya juga menyerah Baginda. Saya ingin menjadi pemimpin yang berhasil. Saya juga mendukung segala aktifitas masyarakat yang semangat untuk berkembang. Namun layaknya Pangeran pertama, Wilayah Tengah juga terkena banjir berkepanjangan tahun terakhir. Padahal sebelumnya belum pernah seperti itu. Saya merasa gagal.”
            Sang Raja manggut-manggut mendengar penjelasan kedua putranya. Kemudian Sang Raja melihat Pangeran Ketiga yang diam saja, “Sekarang giliranmu. Ceritakan apa yang terjadi di Wilayah Timur.”
            Pangeran ketiga berdiri, “Baginda, saya juga berusaha sepenuh jiwa menjalankan tugas dengan baik. Di setiap kebijakan yang saya putuskan di Wilayah Timur, saya selalu memegang teguh wasiat dari Baginda yaitu bejana yang berisi benda berharga yaitu air. Benar kata Baginda bahwa air adalah sumber kehidupan. Dan Kerajaan Aira makmur adalah karena Baginda memimpin dengan mengutamakan kelestarian alam terutama air.”
            Sang Raja mengangguk puas akan jawaban Pangeran Ketiga, “Benar sekali. Air adalah sumber kemakmuran kerajaan Aira. Wilayah Barat memang maju dalam perdagangan namun pangeran pertama lupa untuk menerapkan kebijakan terkait pembuangan limbah dan sampah yang semakin banyak. Limbah yang memenuhi sungai-sungai adalah penyebab utama banjir di sana. Begitu juga Wilayah Tengah. Wilayah Tengah maju dalam pertanian namun hutan banyak yang dibiarkan gundul sehingga tidak dapat menampung air hujanyang berlebih sehingga banjir kerap terjadi. Sedangkan Wilayah Timur bisa lebih makmur karena pangeran ketiga selalu menekankan akan pentingnya menjaga air dalam segala kegiatan. Air adalah sumber kehidupan di bumi yang dapat habis jika tidak dikelola dengan baik. Segala perbuatan yang mencemari air harus dicegah demi masa depan kerajaan ini agar tetap hidup. Wilaya Timur tidak mengalami banjir karena mereka patuh untuk tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga kelestarian hutan.”
            Akhirnya pangeran ketiga dinobatkan menjadi penerus Kerajaan Aira dan diberi gelar Pangeran Adinata yang berarti Pangeran Paling Mulia.