Senja jingga
menampakkan pesonanya. Sebentar lagi kos akan ramai oleh Zaza dan yang lainnya.
Seperti biasa, tak akan ketinggalan gerutuan mereka tentang kemacetan sore ini
yang membuat mereka bau asap motor. Aku
sudah siap di sini, di atap jemuran. Hari ini aku bertekat akan turun tangan demi
ibuku yang kakinya terkena jebakan kemarin. Lem tikus. Bentuknya yang bening
berhasil membuat ibu menjerit kesakitan demi membebaskan kakinya. Sebenarnya
aku begidik membayangkan resiko aku turun ke lantai bawah. Zaza tak kehabisan akal melawan kami. Selama ini
aku belum pernah keluar sendirian. Dan kali ini adalah kesempatanku. Targetku
kali ini adalah sepatu warna ungu berpita hitam yang nangkring di rak sepatu
nomor 2, sepatu Zaza.
“Ayo makan!!”, Zaza berteriak sambil
merebus mie instan. “Ifah, kamu besok piket lo.. ada strategi apa buat taiti
(tahi tikus)?”
“Aku udah berdoa buat semoga mereka segera
pindah dari sini.“
“Hahahahaha...”, Zaza terkekeh
sambil mengaduk mie.
Ifah menatap Zaza seraya
mengernyutkan dahi, “Lah, ikhtiar sudah kita lakukan dan kita belum berdoa kan?
Toh Si Moy makhluk ciptaanNya juga”.
Aku
masih di sini melihat mereka bicara tentang berdoa. Berdoa? Aku belum
melakukannya. Harusnya berdoa agar ibuku segara sembuh.
“Kita udah ngasih racun, lem tikus,
jepretan, jebakan ember, boneka kucing, bahkan majang foto tikus. Apalagi ya?
Oh iya, kita juga sudah memasang tempat khusus buat meraka ee’. Tapi.....”,
ekspresi Ifah lemas.
Zaza menyambar, “Selamat deh besuk
panen bunga taiti!”
Zaza dan Ifah kemudian masuk kamar.
Inilah kesempatanku. Jarak antara aku dengan rak itu tidak jauh. Aku mulai mengendap
menuruni tangga. Dengan sekali loncat aku bisa melewati satu anak tangga. Tak
dapat aku pungkiri ini adalah hal yang sangat mendebarkan tapi membuatku
tertantang. Aku membayangkan ibu akan bangga setelah mendengar kesuksesanku
menjahili Zaza.
Byar!!! Aku melotot. Lampu dapur
tiba-tiba menyala dan aku terlihat! OMG! Aku langsung meloncat sekuat tenaga
hingga satu loncatanku melewatii 2 anak tangga. Otakku blank, aku tidak boleh tertangkap.
“Aaaa!!! Ada si Moy!”, entah siapa
berteriak, aku tidak sempat melihatnya. Aku pusing bukan kepalang. Aku melihat
ke depan dan tidak ada jalan keluar. Aku
tidak mungkin langsung kembali ke atas. Yup! Ada tempat sampah di depanku. Aku
berlari masuk ke sela antara tempat sampah dan pagar untuk bersembunyi. Hosh
hosh..
Keadaan luar semakin ramai. Aku
mendengar suara Zaza, komando tertinggi di kos ini.
“Pergi kemana ya Si Moy tadi?” “Entahlah..lagian
mau diapain?”
“Kita harus menangkapnya Ifah! ayo dong..!”
Aku was-was berfikir apa nanti yang
akan mereka lakukan padaku.
“Si
Moy nya udah lari..Za..”
“Belum. Aku tadi lihat dia masuk
belakang tong sampah. Aku ambil sapu dulu..”
DEG!! Zaza ambil sapu? Untuk apa? Apakah
untuk memukul kepalaku sehingga aku gegar otak dan tak tahu arah jalan pulang? Aku
harus menyelamatkan diri. Aku melihat sekeliling mencari jalan keluar. Langkah
Zaza semakin dekat membawa sapu. Langkahnya semakin dekat.
“Ifah, kamu jaga sebelah sana. Biar
aku pukul dari sini!.”
Aku dikeroyok! Tak sempat berfikir
lagi. Aku memacu langkah kecilku lurus ke depan dan sapu itu menepuk lantai
tepat di belakangku. Aku lari tunggang langgang dan masuk ke bawah kompor gas.
Detak jantungku tak karuan. Aku merasa hidupku sangat singkat setelah terjadi
peristiwa ini. Aku teringat pesan ibu yang selalu mengharuskan aku pamit
sebelum keluar rumah. Mungkin ibu sekarang mencariku. Ibu..
Klek! Kompor gas tiba-tiba menyala. Aku kaget
setengah mati dan berlari lagi tanpa arah.
Bug! Bug! Bug!
Suara pukulan sapu membuatku pening.
Aku berlari menuju lorong bawah tangga. Sepertinya di sana aman.
“Yeee... Si Moy tertangkap!”
Apa?! Aku terbelalak mendapati
diriku ada di dalam kotak perangkap. Aku menepuk keras dadaku berharap aku
tersadar dari mimpi buruk ini. Aku tertunduk lemas. Seharusnya aku tak di sini.
..................................................
Burung berkicauan bergembira.
Mungkin ini adalah pagi terakhirku. Aku berharap berubah menjadi semut dan
melarikan diri dari sini. Impianku untuk menceritakan petualangan terhebatku
kandas sudah.
Dari sini aku melihat Zaza dan Ifah
memasak mi instan.
“Aku bingung mau diapain ni tikus
kecil... Aku nggak berani ngeluarin dia, ntar nggigit.”
“Sebenarnya aku gemes sekali
padanya. Tapi lihat! Pagi ini nggak ada taiti kan? Mungkin keluarga mereka
sibuk mencari tahu apa yang terjadi pada tikus kecil ini.”
“Zaza...pokoknya pagi ini urusan tikus
kecil ini harus sudah beres!”
“Selow!”, Zaza melengos.
“Sorry Za.., aku nggak bermaksud
kasar. Mending sekarang kita urus Si Moy bareng-bareng yuk!”
“He’em”, Zaza mengangguk.
“Apa kita kasih racun aja biar mati
trus kita buang?”
“Busyet! Kamu serius?!”, Zaza
terbelalak heran. Ifah yang kalem ternyata punay usul kayak gitu.
“Aha!
Apa piloksmu masih ada? Yang warna merah tu.”
“Buat apa?”
“Kita semprot aja pake piloks trus
kita lepas. Peringatan buat yang agar nggak berani turun.”
“Tapi ntar kalau piloks tu bikin Si
Moy tersiksa sampai sekarat gimana? Apalagi Si Moy masih kecil. Masih SD
kayaknya.”
“Ngaco! Ifah... Tikus tu nggak punya
nama, dan nggak sekolah. Trus mau diapain lagi? Mau kamu doain lagi? Trus
dilepasin gitu aja? Ntar keluarganya balas dendam malah berabe. Udah! Kita urus
tu Si Moy sekarang. Sambil berdoa, harus tetap berusaha.”
Ini usaha mereka dan mereka juga berdoa.
Berdoa? Aku ingat kata ini. Aku sudah berusaha, tapi.. tapi aku belum berdoa.
Ya Allah, hanya Kau yang dapat menolongku. Aku tidak ingin membuat ibuku sedih.
Aku janji aku akan menuruti nasehat ibu kapanpun. Bebaskan aku dari sini Ya
Allah...
...........................
“Bangun!. Hadeh kamu dibangunin
malah ngigau kemana-mana.!”
“Hah?! Ibu?! Aku sudah di rumah?!”
“Hadehh,
pasti mimpi aneh lgi...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar