Kamis, 04 Februari 2016

SEPATU BOLA

             Hari ini adalah hari yang dinanti-nanti oleh Hilmi. Hari ini hari libur sekolah. Hilmi berencana akan mengutarakan keinginannya untuk dibelikan sepatu baru. Setelah sarapan nasi goreng hangat, tak seperti biasa Hilmi menaruh piring bekas makan di tempat cuci piring.
            “Waw, pintar sekali anak bunda.. nggak lupa bawa piring kotor ke washtafel. Bunda bangga deh!” Bunda mengacungkan dua jempolnya kepada Hilmi. Hilmi tersenyum riang menampakkan giginya yang putih dan sehat.
            “Bunda, aku mau bilang sesuatu nih!” Ekspresi Hilmi tiba-tiba berubah.
            “Bilang apa sayang?”
            “Sepatu bolaku nggak enak dipakai, aku ingin sepatu baru seperti punya Rio.”
            “Nggak enak gimana? Itu kan baru beli seminggu yang lalu. Kamu sendiri yang pilih di toko. Iya kan?” Bunda mengingatkan.
            Hilmi mengangguk.
            “Tapi aku mau yang baru lagi ya Bun? Mau kan nganter aku ke toko? Nanti uangnya aku minta sama Ayah.”
            Bunda nampak keberatan dengan ajakan Hilmi.
“Hilmi sayang, kan itu sepatunya masih baru. Nanti kalau beli lagi, sepatu itu pasti nggak kamu pakai kan? Bunda lihat ukurannya cocok kok sama kaki kamu. Tu lihat, masih ada sepatu lain juga yang jarang kamu pakai.” Bunda menunjukkan tumpukan sepatu Hilmi di rak sepatu.
            “Tapi kan Bun, nanti bisa buat gantian. Pasti aku pakai.. Aku janji.” Hilmi membulatkan matanya berharap Bunda mau membelikan sepatu baru.
            Akhirnya Hilmi menundukkan kepala setelah melihat Bunda menggelengkan kepala pertanda tidak setuju. Sebenarnya Hilmi sudah memiliki banyak sepatu. Sepatu hitam untuk sekolah saja ada 3 model yang berbeda. Sepatu bolanya sudah ada 2 pasang. Hilmi senang sekali mengoleksi sepatu. Untuk kali ini Bunda keberatan untuk membelikan sepatu baru karena baru saja minggu kemarin Hilmi membeli sepatu bola baru. Warnanya biru.
            Hilmi pasrah dengan jawaban Bunda. Ia menuju kamar dan memutuskan untuk berangkat menuju lapangan lebih awal. Hari ini Hilmi akan bermain sepak bola bersama teman-temannya.
            “Bun, aku berangkat dulu ya.. ?”
            “Oh iya, nah gitu dunk sepatu baru semangat baru! Ya kan?” Bunda mengepalkan tangan menyemangati Hilmi.
            Hilmi mencium tangan Bunda seraya mengucapkan salam, “Assalamualaykum..”
            “Waalaykumsalam. Hati-hati ya...”

...........................................

            Sesampainya di lapangan, sudah ada Rio dan Adi yang datang lebih awal. Mereka duduk di bawah pohon menunggu yang lain datang. Hilmi bergabung dengan mereka.
            “Hay Hilmi, tumben kamu datang pagi?” Ejek Rio.
            “Iya. Aku mau pemanasan dulu. Yuk kita lari keliling lapangan!” Ajak Hilmi.
            “Iya! benar. Daripada duduk di sini, mendingan kita pemanasan agar otot kita nggak kaku.” Adi mengiyakan.
            “Oke... aku yang pimpin ya!” Rio berdiri disusul dengan Hilmi dan Adi. Mereka membuat lingkaran berhadap-hadapan dan memulai gerakan pemanasan dimulai dari kepala.
            Hilmi memandang sepatu Rio. Sepatu Rio adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya seminggu yang lalu. Sepatu Hilmi dan Rio sama-sama baru namun Hilmi merasa sepatu Rio lebih bagus daripada sepatu miliknya. Sepatu Rio bewarna merah dan terlihat mengkilat, apalagi jika terkena sinar matahari.
            “Kamu suka sepatuku ya?..” Rio bertannya mengagetkan Hilmi.
            “Oh tidak! Sepatuku juga baru. Aku suka sepatuku.” Jawan Hilmi.
            “Iya. tapi sepatuku lebih bagus. Coba bandingkan.” Rio mendekatkan kakinya ke kaki Hilmi.
“Coba kau lihat Di, bagus mana?” Rio menanyakan pendapat Adi.
“Ah kalian ini! Sama-sama bagus kok. Tanpa sepatu juga bisa main bola. Yang penting kita semangat! Hahahahaha...” Adi tertawa lebar.
Hilmi dan Rio melihat kaki Adi yang tak bersepatu. Dari awal latihan sepak bola sebulan yang lalu, Adi memang tidak pernah memakai sepatu. Ia berangkat hanya membawa sandal jepit dan meninggalkannya di bawah pohon saat bermain di lapangan.
“Di, kamu kenapa nggak bawa sepatu?” tanya Rio.
“Aku nggak suka pakai sepatu. Udah ayo kita lari...!” Adi mulai berlari mengelilingi lapangan disusul Hilmi dan Rio.
Pagi ini indah. Lapangan penuh dengan teriakan semangat dari Hilmi dan teman-temannya. Permainan sepak bola dihentikan saat matahari sudah mulai terik. Meskipun lelah dan berkeringat, mereka semua tertawa riang dan merasa puas.
“Adi, kamu mau kemana setelah ini?” Hilmi berjalan menghampiri Adi.
“Aku mau pulang. Mau mandi lah.. Badan bau keringat ni. Kenapa?”
“Ayo main dulu lah! Aku main ke rumah kamu boleh? Nggak jauh dari sini kan?” Ajak Hilmi.
“Oh, tentu saja. Oke! “
Hilmi dan Adi berjalan beriringan. Rumah Adi tidak jah dari lapangan bola.
“Kita nanti main apa di rumahmu?” Tanya Hilmi antusias.
“Emmmm....apa ya...? Aku tidak punya banyak mainan. Emm... Tapi di depan rumahku ada gundukan pasir. Kita bisa buat istana pasir atau terowongan di sana. Bagaimana?”
“Wah... ide bagus!” Mereka pun tertawa bersama.
Sesampainya di rumah Adi, mereka langsung duduk di teras rumah.
“Adi, orang tua kamu dimana? Kok sepi?” Hilmi melihat sekeliling rumah Adi yang pintunya terlihat terkunci..
“Bapak sama Ibuku di pasar jualan bubur. Nanti pulangnya kadang siang kadang sore. Sehabisnya dagangan.”
            “ Kamu di rumah sendiri? “ Hilmi kembali bertanya.
            “Iya. Sudah biasa kok. Udah yuk kita main pasir. Tu!” Adi menunjukkan gundukan pasir yang cukup tinggi di depan rumahnya.
            Adi berlari menuju gundukan pasir dengan semangat.
            “Kamu lepas saja sepatumu di teras, biar nanti tidak kemasukan pasir.” Adi menyarankan.
            Hilmi mengikuti perkataan Adi. Ia melepas sepatu biru di teras. Sebelum beranjak, Hilmi kembali melihat sekeliling seraya meraba lehernya. Ia menelan ludah tanda kehausan.
            “Adi, aku boleh minta minum? Aku haus ni.. Air minumku habis!” Hilmi menunjukkan botol minum kosongnya pada Adi.
            “Oh tentu. Maaf ya aku sampai lupa tidak melayani tamu.” Adi tertawa lebar. Ia kemudian berjalan ke dalam rumahnya.
            Satu menit kemudian, Adi keluar membawa segelas air putih untuk Hilmi. “Adanya cuma air putih. Semoga hausmu hilang ya! Jangan lupa ucap bismillah..” Adi memberikan gelas seraya tersenyum tulus.
            “Terima kasih..” Hilmi meminum segelas air itu hingga tak bersisa.
            Adi dan Hilmi bermain pasir dengan riang gembira. Mereka membuat bangunan benteng istana bersama. Pasir itu dibasahi dengan percikan air kemudian dicetak dengan tangan. Tangan mereka pun diselimuti banyak pasir. Adi dan Hilmi bertekad akan membuat benteng istana setinggi mereka mampu. Tawa riang menghiasi terdengar seru.
            Sakinga asyiknya bermain, tak terasa jam sudah menunjukkan jam 11 siang. Matahari sudah panas terik. Hilmi dan Adi berhasil menghasilkan bangunan benteng istana pasir yang tinggi. Bangunan itu terlihat bertingkat dengan gedung bundar. Gedung bundar adalah hasil cetakan menggunakan gelas. Untuk pagarnya, mereka menggunakan batu kerikil yang seragam ditata mengelilingi istana.
            “Ye bagus!” Adi dan Hilmi berteriak bersama sambil tertawa.
            “Aku kalau besar nanti ingin menjadi arsitektur handal. Aku ingin bangun rumah mirip istana ini!” Hilmi mengutarakan mimpinya bersemangat.
            “Eh! Sudah siang. Ayo kita istirahat. Aku haus ni!” Adi mengusap keringat di wajahnya dengan kaos. Mereka mencuci tangan kemudian Adi membawakan 2 gelas air putih untuk mereka bersama.
            “Sudah waktunya pulang ni. Sudah panas juga.” Hilmi sadar bahwa hari sudah siang. Bunda sedang menunggunya di rumah.
            “Oh iya. aku juga mau mandi. Bau kecut! Hahahahaha!” Balas Adi sambil tertawa lebar.
            “Tapi aku malas pulang!”
            “Hah?! Kenapa?” Adi heran mendengar perkataan Hilmi.
            “Aku tadi pagi minta sepatu baru sama Bunda tapi nggak dikasih. Makanya aku malas pulang dan main ke sini.”
            “Hilmi... Hilmi... Bukannya sepatumu itu baru ya?! Kok mau beli baru lagi? Padahal itu sudah bagus banget!” Adi berkata seakan tak percaya dengan keinginan Hilmi.
            “Aku mau beli yang seperti punya Rio. Bukan dia aja yang bisa punya sepatu bagus kaya gitu! Huh!” Hilmi memajukan bibirnya tanda sebal.
            “Kata Ibuku, kita nggak boleh iri sama teman. Apalagi urusan barang kepunyaan. Tugas kita tu jadi anak yang baik dan  belajar yang rajin. Apalagi kamu nanti mau jadi arsitektur, harus pintar lho.. Kalau nggak pintar nanti rumah yang kamu bangun cepat ambruk!” Adi menampakkan muka serius.
            “Ah kamu! Emangnya kalau kamu besar mau jadi apa Di?!” Hilmi penasaran.
            “Aku mau jadi pemain sepak bola. Aku suka sekali bermain sepak bola. Itulah kenapa aku selalu berangkat awal. Aku mau cita-citaku tercapai.” Adi menjawab mantap.
            “Hahahhahah.. Pemain sepak bola tu wajib pakai sepatu bola. Kamu pakai sepatu aja nggak mau kok!” Hilmi menertawakan keinginan Adi.
            “Yaaa.... Itu karena aku nggak punya Mi..” Raut muka Adi tiba-tiba berubah menjadi sedih.
            “Kamu bilang kamu nggak suka pakai sepatu?” Hilmi kembali bertanya.
            “Aku nggak mau kalian menertawakanku. Sepatuku sekolah saja sudah mulai bolong. Ibu belum membelikan yang baru. Apalagi sepatu bola yang harganya lebih mahal, aku tidak berani minta. Tiap hari Ibu  dan Bapak sudah bekerja keras. Kalau uangnya sudah cukup pasti aku akan dibelikan.”
            Hilmi langsung terhenyak. Ia merasa bersalah karena menertawakan Adi.
            “Maafkan aku ya Di.. Aku kira...”
            “Eh nggak apa-apa! Santai saja. Nanti kalau aku sudah punya sepatu bola, aku pasti menjadi suka memakai sepatu. Iya kan?!”
            Mereka pun tertawa bersama.
            Hilmi kemudian pamit untuk pulang. Sepanjang perjalanan, ia berpikir bahwa ia jauh beruntung daripada Adi. Hilmi bertekad akan minta maaf pada Bunda. Saat memandang sepatu biru yang ia pakai, muncullah senyum penuh syukur. Hilmi baru sadar  tak seharusnya ia iri pada Rio. Sudah sepantasnya ia tetap gembira atas apapun yang dimilikinya.
            Daripada membeli sepatu baru untukku, lebih baik membelikan sepatu baru untuk Adi, batin Hilmi.
            Hilmi tersenyum membayangkan senyum Adi. Ia juga bersyukur kenal dengan Adi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar