Hari ini adalah hari yang dinanti-nanti oleh Hilmi. Hari
ini hari libur sekolah. Hilmi berencana akan mengutarakan keinginannya untuk
dibelikan sepatu baru. Setelah sarapan nasi goreng hangat, tak seperti biasa
Hilmi menaruh piring bekas makan di tempat cuci piring.
“Waw,
pintar sekali anak bunda.. nggak lupa bawa piring kotor ke washtafel. Bunda bangga deh!” Bunda mengacungkan dua jempolnya
kepada Hilmi. Hilmi tersenyum riang menampakkan giginya yang putih dan sehat.
“Bunda,
aku mau bilang sesuatu nih!” Ekspresi Hilmi tiba-tiba berubah.
“Bilang
apa sayang?”
“Sepatu
bolaku nggak enak dipakai, aku ingin sepatu baru seperti punya Rio.”
“Nggak
enak gimana? Itu kan baru beli seminggu yang lalu. Kamu sendiri yang pilih di
toko. Iya kan?” Bunda mengingatkan.
Hilmi
mengangguk.
“Tapi
aku mau yang baru lagi ya Bun? Mau kan nganter aku ke toko? Nanti uangnya aku
minta sama Ayah.”
Bunda
nampak keberatan dengan ajakan Hilmi.
“Hilmi sayang, kan itu
sepatunya masih baru. Nanti kalau beli lagi, sepatu itu pasti nggak kamu pakai
kan? Bunda lihat ukurannya cocok kok sama kaki kamu. Tu lihat, masih ada sepatu
lain juga yang jarang kamu pakai.” Bunda menunjukkan tumpukan sepatu Hilmi di
rak sepatu.
“Tapi
kan Bun, nanti bisa buat gantian. Pasti aku pakai.. Aku janji.” Hilmi
membulatkan matanya berharap Bunda mau membelikan sepatu baru.
Akhirnya
Hilmi menundukkan kepala setelah melihat Bunda menggelengkan kepala pertanda
tidak setuju. Sebenarnya Hilmi sudah memiliki banyak sepatu. Sepatu hitam untuk
sekolah saja ada 3 model yang berbeda. Sepatu bolanya sudah ada 2 pasang. Hilmi
senang sekali mengoleksi sepatu. Untuk kali ini Bunda keberatan untuk
membelikan sepatu baru karena baru saja minggu kemarin Hilmi membeli sepatu bola
baru. Warnanya biru.
Hilmi
pasrah dengan jawaban Bunda. Ia menuju kamar dan memutuskan untuk berangkat
menuju lapangan lebih awal. Hari ini Hilmi akan bermain sepak bola bersama
teman-temannya.
“Bun,
aku berangkat dulu ya.. ?”
“Oh
iya, nah gitu dunk sepatu baru
semangat baru! Ya kan?” Bunda mengepalkan tangan menyemangati Hilmi.
Hilmi
mencium tangan Bunda seraya mengucapkan salam, “Assalamualaykum..”
“Waalaykumsalam.
Hati-hati ya...”
...........................................
Sesampainya
di lapangan, sudah ada Rio dan Adi yang datang lebih awal. Mereka duduk di
bawah pohon menunggu yang lain datang. Hilmi bergabung dengan mereka.
“Hay
Hilmi, tumben kamu datang pagi?” Ejek Rio.
“Iya.
Aku mau pemanasan dulu. Yuk kita lari keliling lapangan!” Ajak Hilmi.
“Iya!
benar. Daripada duduk di sini, mendingan kita pemanasan agar otot kita nggak
kaku.” Adi mengiyakan.
“Oke...
aku yang pimpin ya!” Rio berdiri disusul dengan Hilmi dan Adi. Mereka membuat
lingkaran berhadap-hadapan dan memulai gerakan pemanasan dimulai dari kepala.
Hilmi
memandang sepatu Rio. Sepatu Rio adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya
seminggu yang lalu. Sepatu Hilmi dan Rio sama-sama baru namun Hilmi merasa
sepatu Rio lebih bagus daripada sepatu miliknya. Sepatu Rio bewarna merah dan
terlihat mengkilat, apalagi jika terkena sinar matahari.
“Kamu
suka sepatuku ya?..” Rio bertannya mengagetkan Hilmi.
“Oh
tidak! Sepatuku juga baru. Aku suka sepatuku.” Jawan Hilmi.
“Iya.
tapi sepatuku lebih bagus. Coba bandingkan.” Rio mendekatkan kakinya ke kaki
Hilmi.
“Coba kau lihat Di,
bagus mana?” Rio menanyakan pendapat Adi.
“Ah kalian ini!
Sama-sama bagus kok. Tanpa sepatu juga bisa main bola. Yang penting kita
semangat! Hahahahaha...” Adi tertawa lebar.
Hilmi dan Rio melihat
kaki Adi yang tak bersepatu. Dari awal latihan sepak bola sebulan yang lalu,
Adi memang tidak pernah memakai sepatu. Ia berangkat hanya membawa sandal jepit
dan meninggalkannya di bawah pohon saat bermain di lapangan.
“Di, kamu kenapa nggak
bawa sepatu?” tanya Rio.
“Aku nggak suka pakai
sepatu. Udah ayo kita lari...!” Adi mulai berlari mengelilingi lapangan disusul
Hilmi dan Rio.
Pagi ini indah.
Lapangan penuh dengan teriakan semangat dari Hilmi dan teman-temannya. Permainan
sepak bola dihentikan saat matahari sudah mulai terik. Meskipun lelah dan
berkeringat, mereka semua tertawa riang dan merasa puas.
“Adi, kamu mau kemana
setelah ini?” Hilmi berjalan menghampiri Adi.
“Aku mau pulang. Mau
mandi lah.. Badan bau keringat ni. Kenapa?”
“Ayo main dulu lah! Aku
main ke rumah kamu boleh? Nggak jauh dari sini kan?” Ajak Hilmi.
“Oh, tentu saja. Oke! “
Hilmi dan Adi berjalan
beriringan. Rumah Adi tidak jah dari lapangan bola.
“Kita nanti main apa di
rumahmu?” Tanya Hilmi antusias.
“Emmmm....apa ya...?
Aku tidak punya banyak mainan. Emm... Tapi di depan rumahku ada gundukan pasir.
Kita bisa buat istana pasir atau terowongan di sana. Bagaimana?”
“Wah... ide bagus!” Mereka
pun tertawa bersama.
Sesampainya di rumah
Adi, mereka langsung duduk di teras rumah.
“Adi, orang tua kamu
dimana? Kok sepi?” Hilmi melihat sekeliling rumah Adi yang pintunya terlihat
terkunci..
“Bapak sama Ibuku di
pasar jualan bubur. Nanti pulangnya kadang siang kadang sore. Sehabisnya
dagangan.”
“
Kamu di rumah sendiri? “ Hilmi kembali bertanya.
“Iya.
Sudah biasa kok. Udah yuk kita main pasir. Tu!” Adi menunjukkan gundukan pasir
yang cukup tinggi di depan rumahnya.
Adi
berlari menuju gundukan pasir dengan semangat.
“Kamu
lepas saja sepatumu di teras, biar nanti tidak kemasukan pasir.” Adi
menyarankan.
Hilmi
mengikuti perkataan Adi. Ia melepas sepatu biru di teras. Sebelum beranjak, Hilmi
kembali melihat sekeliling seraya meraba lehernya. Ia menelan ludah tanda
kehausan.
“Adi,
aku boleh minta minum? Aku haus ni.. Air minumku habis!” Hilmi menunjukkan
botol minum kosongnya pada Adi.
“Oh
tentu. Maaf ya aku sampai lupa tidak melayani tamu.” Adi tertawa lebar. Ia
kemudian berjalan ke dalam rumahnya.
Satu
menit kemudian, Adi keluar membawa segelas air putih untuk Hilmi. “Adanya cuma
air putih. Semoga hausmu hilang ya! Jangan lupa ucap bismillah..” Adi memberikan gelas seraya tersenyum tulus.
“Terima
kasih..” Hilmi meminum segelas air itu hingga tak bersisa.
Adi
dan Hilmi bermain pasir dengan riang gembira. Mereka membuat bangunan benteng
istana bersama. Pasir itu dibasahi dengan percikan air kemudian dicetak dengan
tangan. Tangan mereka pun diselimuti banyak pasir. Adi dan Hilmi bertekad akan membuat
benteng istana setinggi mereka mampu. Tawa riang menghiasi terdengar seru.
Sakinga
asyiknya bermain, tak terasa jam sudah menunjukkan jam 11 siang. Matahari sudah
panas terik. Hilmi dan Adi berhasil menghasilkan bangunan benteng istana pasir
yang tinggi. Bangunan itu terlihat bertingkat dengan gedung bundar. Gedung
bundar adalah hasil cetakan menggunakan gelas. Untuk pagarnya, mereka
menggunakan batu kerikil yang seragam ditata mengelilingi istana.
“Ye
bagus!” Adi dan Hilmi berteriak bersama sambil tertawa.
“Aku
kalau besar nanti ingin menjadi arsitektur handal. Aku ingin bangun rumah mirip
istana ini!” Hilmi mengutarakan mimpinya bersemangat.
“Eh!
Sudah siang. Ayo kita istirahat. Aku haus ni!” Adi mengusap keringat di
wajahnya dengan kaos. Mereka mencuci tangan kemudian Adi membawakan 2 gelas air
putih untuk mereka bersama.
“Sudah
waktunya pulang ni. Sudah panas juga.” Hilmi sadar bahwa hari sudah siang.
Bunda sedang menunggunya di rumah.
“Oh
iya. aku juga mau mandi. Bau kecut! Hahahahaha!” Balas Adi sambil tertawa
lebar.
“Tapi
aku malas pulang!”
“Hah?!
Kenapa?” Adi heran mendengar perkataan Hilmi.
“Aku
tadi pagi minta sepatu baru sama Bunda tapi nggak dikasih. Makanya aku malas
pulang dan main ke sini.”
“Hilmi...
Hilmi... Bukannya sepatumu itu baru ya?! Kok mau beli baru lagi? Padahal itu
sudah bagus banget!” Adi berkata seakan tak percaya dengan keinginan Hilmi.
“Aku
mau beli yang seperti punya Rio. Bukan dia aja yang bisa punya sepatu bagus
kaya gitu! Huh!” Hilmi memajukan bibirnya tanda sebal.
“Kata
Ibuku, kita nggak boleh iri sama teman. Apalagi urusan barang kepunyaan. Tugas
kita tu jadi anak yang baik dan belajar
yang rajin. Apalagi kamu nanti mau jadi arsitektur, harus pintar lho.. Kalau nggak pintar nanti rumah
yang kamu bangun cepat ambruk!” Adi menampakkan muka serius.
“Ah
kamu! Emangnya kalau kamu besar mau jadi apa Di?!” Hilmi penasaran.
“Aku
mau jadi pemain sepak bola. Aku suka sekali bermain sepak bola. Itulah kenapa
aku selalu berangkat awal. Aku mau cita-citaku tercapai.” Adi menjawab mantap.
“Hahahhahah..
Pemain sepak bola tu wajib pakai sepatu bola. Kamu pakai sepatu aja nggak mau
kok!” Hilmi menertawakan keinginan Adi.
“Yaaa....
Itu karena aku nggak punya Mi..” Raut muka Adi tiba-tiba berubah menjadi sedih.
“Kamu
bilang kamu nggak suka pakai sepatu?” Hilmi kembali bertanya.
“Aku
nggak mau kalian menertawakanku. Sepatuku sekolah saja sudah mulai bolong. Ibu
belum membelikan yang baru. Apalagi sepatu bola yang harganya lebih mahal, aku
tidak berani minta. Tiap hari Ibu dan
Bapak sudah bekerja keras. Kalau uangnya sudah cukup pasti aku akan dibelikan.”
Hilmi
langsung terhenyak. Ia merasa bersalah karena menertawakan Adi.
“Maafkan
aku ya Di.. Aku kira...”
“Eh
nggak apa-apa! Santai saja. Nanti kalau aku sudah punya sepatu bola, aku pasti
menjadi suka memakai sepatu. Iya kan?!”
Mereka
pun tertawa bersama.
Hilmi
kemudian pamit untuk pulang. Sepanjang perjalanan, ia berpikir bahwa ia jauh
beruntung daripada Adi. Hilmi bertekad akan minta maaf pada Bunda. Saat
memandang sepatu biru yang ia pakai, muncullah senyum penuh syukur. Hilmi baru
sadar tak seharusnya ia iri pada Rio. Sudah
sepantasnya ia tetap gembira atas apapun yang dimilikinya.
Daripada
membeli sepatu baru untukku, lebih baik membelikan sepatu baru untuk Adi, batin
Hilmi.
Hilmi
tersenyum membayangkan senyum Adi. Ia juga bersyukur kenal dengan Adi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar