Selasa, 17 November 2015

FATIM



              Kini aku percaya bahwa wanita sholeha adalah perhiasan dunia tiada tara. Aku melihatnya di depan mataku sendiri. Fatim, istri jelita yang kudoakankan masuk  syurga atas ridhoku. Bagaimana tidak, jika semua yang ia lakukan membuatku terkagum dan ingin lebih menyayanginya. Sampai tersadar akan nasehatnya bahwa sebaiknya aku mencintainya sederhana saja.
            Fatim, nama yang indah yang mengandung arti pendiam, lembut, anak rasulullah, dan merupakan salah satu dari empat wanita sempurna yang disebut di dalam Alquran. Aku menikahinya setahun yang lalu. Aku menikmati setiap detiknya. Aku ingat waktu itu aku meminangnya karena dia adalah wanita yang manut[1]. Aku datang melamar menjelang ia wisuda sarjana. Tanpa aku meminta, ia siap untuk menjadi ibu rumah tangga. Meskipun sebenarnya aku mengijinkan apapun aktifitas yang ia mau asalkan seijinku.
            Malam sudah mulai larut. Aku mulai mendengar suara langkah kucing di atap. Lalu lalang di jalan raya mulai sepi. Aku merebahkan badan di kasur dan menggeser-geser touch screen HP. Mulai kubaca berita ekonomi hari ini. Isu krisis seperti menghantui. Mataku melirik Fatim penasaran apa yang sedang ia kerjakan. Fatim sudah memakai baju tidur warna krem kesukaanku.
            “Mas, aku mau buka laptop boleh?” Fatim bertanya padaku dengan senyum manis.
            Aku terdiam 3 detik demi menikmatinya, “Mau ngapain? Nulis lagi?”
            Ia mengangguk dengan tetap tersenyum. Akupun reflek mengangguk mengikuti. Laptop di atas meja langsung ia buka dan tak sampai semenit suasana menjadi hening demi mendengarkan decak keyboard.
            “Dik...” Aku meletakkan HP. Fatim langsung menoleh padaku dan mengeluarkan senyum manisnya lagi.
            “Kenapa kau tidak menerbitkan buku saja? Kan lumayan nanti akan ada royalti. Atau nerbitin buku indie saja. Pembacamu sudah banyak kan?!”
            Fatim menghentikan jemarinya yang tadinya menari. Ia mengernyitkan dahi memandangku tajam.
            “Apa ada yang salah dengan ucapanku?”
            “Emmm, tidak Mas. Tapi bukan itu tujuanku menulis. Entah nanti akan terbit menjadi  buku atau tidak, aku tidak peduli. Aku menulis agar pikiranku sampai pada pembaca. Itu sudah cukup. Semoga saja tulisanku bisa menjadi amal ibadahku.”
            “Iya. Aku tahu. Em tapi jika hobi bisa jadi uang kenapa tidak?” Aku melanjutkan pendapatku.
            Fatim kembali mengernyitkan dahinya melihatku heran.
            “Apakah aktifitasku menulis mengganggu kewajibanku sebagai istri, Mas?”
            Aku menggeleng cepat. Tentu tidak. Fatim menulis saat aku berangkat bekerja dan malam hari menjelang tidur. Sebelum tidur ia rutin membaca buku atau menulis. Aku ingat saat pengantin baru, ia meminta dibelikan rak buku kecil. Belanja bulanannya pun adalah buku. Saat aku minta pendapatnya atas masalahku, ia bisa menasehati dengan baik dan membuatku lebih tenang. Ah, Fatim.. hanya pesonanya yang menggangguku.
            Aku adalah tipe manusia yang tidak suka membaca. Seringkali aku cengengesan dan mengharap Fatim membacakan buku demi menceritakan isinya padaku. Sungguh malasnya diriku. Bertolak belakang dengan Fatim yang  pintar dan mempunyai potensi dalam tulis menulis. Aku berfikir kenapa tidak diberdayakan saja?
            “Akhir-akhir ini kamu menulis lebih rutin. Nulis apa sih?” Aku mengalihkan pembicaraan.
            “Ya karena Mas udah nggak ngijinin aku naik motor lagi, aku mengalihkan fokus ke nulis lebih banyak agar tidak jenuh di rumah.” Jawabnya dengan datar.
            Fatim sedang hamil 7 bulan. Aku melarangnya naik motor karena khawatir akan kandungannya. Biasanya, hampir setiap hari ia keluar untuk mengantar paket ke jasa pengiriman. Meskipun Fatim tidak bekerja di luar rumah, kemauannya untuk berkarya sangat tinggi.
            “Iya, tapi kamu nulis apa? Jangan mainan Facebook! ” Aku melirik laptopnya yang menampakkan back ground dominan biru.
            “Hmm, Aku nulis diari hamil Mas. Aku mengumpulkan referensi dari banyak sumber tentang ilmu seputar kehamilan, aku juga menulis pengalaman hamilku. Harapannya nanti bisa aku baca untuk kehamilan kedua. Juga bisa jadi ilmu buat teman jika ada yang tanya-tanya. Hehhe!“ Fatim semangat menjelaskan.
            “Wah bagus tu... aku lihat ada artis juga bikin buku diari hamil dan laris di pasaran lho! Kamu juga bisa Dik!” Aku mengepalkan tangan menyemangati Fatim.
            “Emmm, boleh sih tapi belum masuk prioritas. Menerbitkan buku mah tujuannya harus benar, isinya juga nggak asal-asalan. Dunia kehamilan juga bukan bidangku Mas. Kalau di usaha memang tujuanku jualan, memberikan solusi makanan sehat pada konsumen. Kalau soal tulis menulis, emmm beda jauh ah!.” Fatim mengangkat bahunya.
            “Tujuan orang jadi penulis kan untuk mendapatkan royalti. Kok kamu aneh gitu sih?!” Aku ganti mengernyitkan dahi. Aku gemas dengan istriku yang tak tanggap maksudku. Sebentar lagi ia akan melahirkan. Lalu tahun depan kami berencana mambangun rumah. Terbayang sudah kebutuhan rumah tangga kami yang semakin banyak.
            Fatim mulai terusik dengan perkataanku. Ia bangkit dari kursi lalu menghadapkan kursinya padaku. “Aku dulu sudah pernah bilang, aku masih perlu banyak belajar Mas. Aku ingin bisa menulis dari hati, agar juga bisa sampai ke hati pembaca. Aku buka Facebook juga nggak main-main, kemarin aku menulis opini tentang darurat asap di Sumatera dan ternyata banyak yang komentar. Aku nggak bertujuan buruk. Justru tulisanku aku usahakan solutif, tidak hanya mengritik. Saat tulisanku banyak dishare, aku berdoa semoga manfaatnya meluas. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Kita harus jadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain kan? Dan ini adalah caraku, menjadi penulis. Mas sih nggak pernah mau baca tulisanku..”
            “Kamu kan tahu aku malas baca!” Aku memalingkan pandanganku dari Fatim. Aku sebal jika ia membahas kekuranganku yang satu ini.
            “Padahal wahyu pertama di Alquran berbunyi iqro yang artinya “Bacalah”. Kalau baca aja nggak mau gimana mau ngerti!” Fatim tertular emosiku. Kulirik ia beranjak keluar kamar. Mungkin mencari angin segar. Tiba-tiba udara di dalam kamar memang terasa sangat panas.Huh!

..................................................

            “Maaf Ukhti, saya ada 2 pertanyaan yang perlu ukhti jawab.”
            “Silahkan, saya usahakan menjawab semampu saya.”
            “Rumah tangga yang bagaimana yang ukhti inginkan? Terutama pendidikan untuk anak.”
            “Saya mengidamkan rumah tangga yang berprinsip mengutamakan manfaat untuk sekitar. Untuk pendidikan anak-anak, itulah kenapa saya memilih tidak bekerja di luar rumah. Saya ingin maksimal dalam mendidik anak. Saya mempercayai bahwa itu adalah peran terbesar yang seharusnya wanita lakukan yaitu mencetak generasi yang soleh dan berkompetensi. Saya juga ingin menanamkan prinsip kebermanfaatan dalam mendidik anak. Setiap dari kita harus bermanfaat untuk sekitar, negara, dan agama. Oleh katena itu, caranya adalah dengan memaksimalkan potensi yang kita miliki.”
            “Apa profesi yang ukhti inginkan setelah menikah?”
            “Saya ingin mengurus rumah tangga. Itu tugas utama. Namun, saya sudah mempunyai usaha yang berdiri setahun ini. Saya memproduksi makanan sehat. Saya ingin melanjutkan usaha itu. Oh ya, Saya tidak bisa lepas dari kegiatan menulis. Saya sangat suka membaca dan menulis. Saya senang saat pikiran yang saya tuangkan dapat dibaca orang banyak.”
           
...............................

            Aku menerawang atap kamar. Tak terbayangkan malam ini akan berakhir seperti ini. Sepertinya hawa penyesalan mulai terhirup olehku. Hawa penyesalan yang muncul dari diriku sendiri. Aku mencari-cari dimana kesalahanku. Apakah aktifitas menulis Fatim mulai mengganggu rumah tangga kami? Tidak. Apakah budgetnya untuk membeli buku bulanan berlebihan? Tidak juga. Apakah aktifitasnya menulis mengusik keuangan rumah tangga? Tidak. Apakah aku yang terusik dengan pikiranku tentang keuangan rumah tangga? Oh, iya!
            Aku berusaha melakukan instropeksi diri. Aku tahu Fatim juga sedang melakukannya di luar kamar. Kuangkat bantal dan kututupkan pada mukaku. Aku menutup mata mencoba menenangkan pikiran.
Akhir-akhir ini hasil penjualan daganganku menurun. Ditambah lagi beberapa teman mengeluh padaku tentang biaya persalinan yang tak murah. Hmm, aku kini tahu dimana salahku. Aku langsung mengucap istighfar. Tak selayaknya aku mengharapkan materi dari aktifitas Fatim. Sebagai suami, aku merasa mempermalukan diriku sendiri.
            Aku teringat pada Fatim. Pada tulisan-tulisannya. Meskipun aku adalah seorang yang malas membaca, setidaknya aku pernah 3 kali mengunjungi blog Fatim. Aku ingat apa yang ia ceritakan di profil. Ia sangat menyukai menulis. Ia percaya bahwa tulisan dapat mengubah dunia, apalagi negeri ini. Ia mencintai Indonesia dengan menulis. Ia peduli lingkungan dengan menulis. Ia semangat sekali saat menulis. Fatim berkata bahwa kita semua punya peran masing-masing untuk berkarya demi memajukan negeri ini. Biarlah presiden memimpin dengan bijak, biarlah siswa belajar dengan tekun, biarlah petani menanam dengan ikhlas, biarlah pedagang bertransaksi dengan jujur, dan biarlah penulis menulis dengan hati. Banyak sekali tulisan Fatim yang dishare  pembacanya. Ada juga yang pro dan kontra akan pendapatnya. Namun Fatim adalah istriku yang bijak. Ia hanya ingin menulis, menulis, dan menulis.
Fatim berkata ia bahagia dengan menulis. Aku tahu hal itu dari awal. Sungguh fatal kesalahanku. Aku hampir membelokkan niat menulisnya untuk kepentinganku. Aku mengusik kebahagiaannya. Aku harus minta maaf. Kubuka bantal penutup wajahku. Aku terhenyak.
“Maafkan aku Mas, aku bukanlah penulis, aku adalah istrimu..” Fatim sudah berdiri di hadapanku membawa segelas wedang tape kesukaanku.
Aku langsung tersenyum haru. Bagaimana bisa aku tak semakin mencintainya. Kuraih Fatim untuk duduk di sampingku. Aku mengelus perutnya yang membesar. Ia tersenyum senang.
“Nak, jika kau sudah besar, aku ingin kau seperti ibumu...”
Senyum Fatim sungguh manis. Semoga wedang tapenya juga begitu.




[1] penurut


*Alhamdulillah... cerpen ini menjadi Juara 3 Lomba Cerpen Scientist Muslimah Event 2015 oleh KMFM UGM :) . 
*Karya special bersama Dekbay, trophynya buat Dekbay :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar