Kini aku percaya
bahwa wanita sholeha adalah perhiasan dunia tiada tara. Aku melihatnya di depan
mataku sendiri. Fatim, istri jelita yang kudoakankan masuk syurga atas ridhoku. Bagaimana tidak, jika
semua yang ia lakukan membuatku terkagum dan ingin lebih menyayanginya. Sampai tersadar
akan nasehatnya bahwa sebaiknya aku mencintainya sederhana saja.
Fatim, nama yang indah yang
mengandung arti pendiam, lembut, anak rasulullah, dan merupakan salah satu dari
empat wanita sempurna yang disebut di dalam Alquran. Aku menikahinya setahun
yang lalu. Aku menikmati setiap detiknya. Aku ingat waktu itu aku meminangnya
karena dia adalah wanita yang manut[1].
Aku datang melamar menjelang ia wisuda sarjana. Tanpa aku meminta, ia siap
untuk menjadi ibu rumah tangga. Meskipun sebenarnya aku mengijinkan apapun
aktifitas yang ia mau asalkan seijinku.
Malam sudah mulai larut. Aku mulai
mendengar suara langkah kucing di atap. Lalu lalang di jalan raya mulai sepi.
Aku merebahkan badan di kasur dan menggeser-geser touch screen HP. Mulai kubaca berita ekonomi hari ini. Isu krisis
seperti menghantui. Mataku melirik Fatim penasaran apa yang sedang ia kerjakan.
Fatim sudah memakai baju tidur warna krem kesukaanku.
“Mas, aku mau buka laptop boleh?” Fatim
bertanya padaku dengan senyum manis.
Aku terdiam 3 detik demi menikmatinya,
“Mau ngapain? Nulis lagi?”
Ia mengangguk dengan tetap
tersenyum. Akupun reflek mengangguk mengikuti. Laptop di atas meja langsung ia
buka dan tak sampai semenit suasana menjadi hening demi mendengarkan decak keyboard.
“Dik...” Aku meletakkan HP. Fatim
langsung menoleh padaku dan mengeluarkan senyum manisnya lagi.
“Kenapa kau tidak menerbitkan buku
saja? Kan lumayan nanti akan ada royalti. Atau nerbitin buku indie saja.
Pembacamu sudah banyak kan?!”
Fatim menghentikan jemarinya yang
tadinya menari. Ia mengernyitkan dahi memandangku tajam.
“Apa ada yang salah dengan
ucapanku?”
“Emmm, tidak Mas. Tapi bukan itu
tujuanku menulis. Entah nanti akan terbit menjadi buku atau tidak, aku tidak peduli. Aku
menulis agar pikiranku sampai pada pembaca. Itu sudah cukup. Semoga saja
tulisanku bisa menjadi amal ibadahku.”
“Iya. Aku tahu. Em tapi jika hobi
bisa jadi uang kenapa tidak?” Aku melanjutkan pendapatku.
Fatim kembali mengernyitkan dahinya
melihatku heran.
“Apakah aktifitasku menulis
mengganggu kewajibanku sebagai istri, Mas?”
Aku menggeleng cepat. Tentu tidak. Fatim
menulis saat aku berangkat bekerja dan malam hari menjelang tidur. Sebelum
tidur ia rutin membaca buku atau menulis. Aku ingat saat pengantin baru, ia
meminta dibelikan rak buku kecil. Belanja bulanannya pun adalah buku. Saat aku
minta pendapatnya atas masalahku, ia bisa menasehati dengan baik dan membuatku
lebih tenang. Ah, Fatim.. hanya pesonanya yang menggangguku.
Aku adalah tipe manusia yang tidak
suka membaca. Seringkali aku cengengesan dan mengharap Fatim membacakan buku demi
menceritakan isinya padaku. Sungguh malasnya diriku. Bertolak belakang dengan
Fatim yang pintar dan mempunyai potensi
dalam tulis menulis. Aku berfikir kenapa tidak diberdayakan saja?
“Akhir-akhir ini kamu menulis lebih rutin.
Nulis apa sih?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Ya karena Mas udah nggak ngijinin
aku naik motor lagi, aku mengalihkan fokus ke nulis lebih banyak agar tidak
jenuh di rumah.” Jawabnya dengan datar.
Fatim sedang hamil 7 bulan. Aku
melarangnya naik motor karena khawatir akan kandungannya. Biasanya, hampir setiap
hari ia keluar untuk mengantar paket ke jasa pengiriman. Meskipun Fatim tidak
bekerja di luar rumah, kemauannya untuk berkarya sangat tinggi.
“Iya, tapi kamu nulis apa? Jangan
mainan Facebook! ” Aku melirik laptopnya yang menampakkan back ground dominan biru.
“Hmm, Aku nulis diari hamil Mas. Aku
mengumpulkan referensi dari banyak sumber tentang ilmu seputar kehamilan, aku juga
menulis pengalaman hamilku. Harapannya nanti bisa aku baca untuk kehamilan
kedua. Juga bisa jadi ilmu buat teman jika ada yang tanya-tanya. Hehhe!“ Fatim
semangat menjelaskan.
“Wah bagus tu... aku lihat ada artis
juga bikin buku diari hamil dan laris di pasaran lho! Kamu juga bisa Dik!” Aku
mengepalkan tangan menyemangati Fatim.
“Emmm, boleh sih tapi belum masuk
prioritas. Menerbitkan buku mah
tujuannya harus benar, isinya juga nggak asal-asalan. Dunia kehamilan juga
bukan bidangku Mas. Kalau di usaha memang tujuanku jualan, memberikan solusi
makanan sehat pada konsumen. Kalau soal tulis menulis, emmm beda jauh ah!.”
Fatim mengangkat bahunya.
“Tujuan orang jadi penulis kan untuk
mendapatkan royalti. Kok kamu aneh gitu sih?!” Aku ganti mengernyitkan dahi.
Aku gemas dengan istriku yang tak tanggap maksudku. Sebentar lagi ia akan
melahirkan. Lalu tahun depan kami berencana mambangun rumah. Terbayang sudah
kebutuhan rumah tangga kami yang semakin banyak.
Fatim mulai terusik dengan
perkataanku. Ia bangkit dari kursi lalu menghadapkan kursinya padaku. “Aku dulu
sudah pernah bilang, aku masih perlu banyak belajar Mas. Aku ingin bisa menulis
dari hati, agar juga bisa sampai ke hati pembaca. Aku buka Facebook juga nggak
main-main, kemarin aku menulis opini tentang darurat asap di Sumatera dan
ternyata banyak yang komentar. Aku nggak bertujuan buruk. Justru tulisanku aku
usahakan solutif, tidak hanya mengritik. Saat tulisanku banyak dishare, aku berdoa semoga manfaatnya
meluas. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Kita harus jadi manusia yang
bermanfaat untuk orang lain kan? Dan ini adalah caraku, menjadi penulis. Mas
sih nggak pernah mau baca tulisanku..”
“Kamu kan tahu aku malas baca!” Aku memalingkan
pandanganku dari Fatim. Aku sebal jika ia membahas kekuranganku yang satu ini.
“Padahal wahyu pertama di Alquran
berbunyi iqro yang artinya “Bacalah”.
Kalau baca aja nggak mau gimana mau ngerti!” Fatim tertular emosiku. Kulirik ia
beranjak keluar kamar. Mungkin mencari angin segar. Tiba-tiba udara di dalam
kamar memang terasa sangat panas.Huh!
..................................................
“Maaf Ukhti, saya ada 2 pertanyaan
yang perlu ukhti jawab.”
“Silahkan, saya usahakan menjawab semampu
saya.”
“Rumah tangga yang bagaimana yang
ukhti inginkan? Terutama pendidikan untuk anak.”
“Saya mengidamkan rumah tangga yang
berprinsip mengutamakan manfaat untuk sekitar. Untuk pendidikan anak-anak,
itulah kenapa saya memilih tidak bekerja di luar rumah. Saya ingin maksimal
dalam mendidik anak. Saya mempercayai bahwa itu adalah peran terbesar yang seharusnya
wanita lakukan yaitu mencetak generasi yang soleh dan berkompetensi. Saya juga ingin
menanamkan prinsip kebermanfaatan dalam mendidik anak. Setiap dari kita harus
bermanfaat untuk sekitar, negara, dan agama. Oleh katena itu, caranya adalah
dengan memaksimalkan potensi yang kita miliki.”
“Apa profesi yang ukhti inginkan
setelah menikah?”
“Saya ingin mengurus rumah tangga.
Itu tugas utama. Namun, saya sudah mempunyai usaha yang berdiri setahun ini. Saya
memproduksi makanan sehat. Saya ingin melanjutkan usaha itu. Oh ya, Saya tidak
bisa lepas dari kegiatan menulis. Saya sangat suka membaca dan menulis. Saya senang
saat pikiran yang saya tuangkan dapat dibaca orang banyak.”
...............................
Aku menerawang atap kamar. Tak
terbayangkan malam ini akan berakhir seperti ini. Sepertinya hawa penyesalan
mulai terhirup olehku. Hawa penyesalan yang muncul dari diriku sendiri. Aku
mencari-cari dimana kesalahanku. Apakah aktifitas menulis Fatim mulai
mengganggu rumah tangga kami? Tidak. Apakah budgetnya
untuk membeli buku bulanan berlebihan? Tidak juga. Apakah aktifitasnya menulis
mengusik keuangan rumah tangga? Tidak. Apakah aku yang terusik dengan pikiranku
tentang keuangan rumah tangga? Oh, iya!
Aku berusaha melakukan instropeksi
diri. Aku tahu Fatim juga sedang melakukannya di luar kamar. Kuangkat bantal
dan kututupkan pada mukaku. Aku menutup mata mencoba menenangkan pikiran.
Akhir-akhir
ini hasil penjualan daganganku menurun. Ditambah lagi beberapa teman mengeluh
padaku tentang biaya persalinan yang tak murah. Hmm, aku kini tahu dimana
salahku. Aku langsung mengucap istighfar. Tak selayaknya aku mengharapkan
materi dari aktifitas Fatim. Sebagai suami, aku merasa mempermalukan diriku
sendiri.
Aku teringat pada Fatim. Pada
tulisan-tulisannya. Meskipun aku adalah seorang yang malas membaca, setidaknya aku
pernah 3 kali mengunjungi blog Fatim. Aku ingat apa yang ia ceritakan di
profil. Ia sangat menyukai menulis. Ia percaya bahwa tulisan dapat mengubah
dunia, apalagi negeri ini. Ia mencintai Indonesia dengan menulis. Ia peduli
lingkungan dengan menulis. Ia semangat sekali saat menulis. Fatim berkata bahwa
kita semua punya peran masing-masing untuk berkarya demi memajukan negeri ini.
Biarlah presiden memimpin dengan bijak, biarlah siswa belajar dengan tekun,
biarlah petani menanam dengan ikhlas, biarlah pedagang bertransaksi dengan
jujur, dan biarlah penulis menulis dengan hati. Banyak sekali tulisan Fatim
yang dishare pembacanya. Ada juga yang pro dan kontra akan
pendapatnya. Namun Fatim adalah istriku yang bijak. Ia hanya ingin menulis,
menulis, dan menulis.
Fatim
berkata ia bahagia dengan menulis. Aku tahu hal itu dari awal. Sungguh fatal
kesalahanku. Aku hampir membelokkan niat menulisnya untuk kepentinganku. Aku
mengusik kebahagiaannya. Aku harus minta maaf. Kubuka bantal penutup wajahku. Aku
terhenyak.
“Maafkan
aku Mas, aku bukanlah penulis, aku adalah istrimu..” Fatim sudah berdiri di
hadapanku membawa segelas wedang tape kesukaanku.
Aku
langsung tersenyum haru. Bagaimana bisa aku tak semakin mencintainya. Kuraih
Fatim untuk duduk di sampingku. Aku mengelus perutnya yang membesar. Ia
tersenyum senang.
“Nak,
jika kau sudah besar, aku ingin kau seperti ibumu...”
Senyum
Fatim sungguh manis. Semoga wedang tapenya juga begitu.
[1] penurut
*Alhamdulillah... cerpen ini menjadi Juara 3 Lomba Cerpen Scientist Muslimah Event 2015 oleh KMFM UGM :) .
*Karya special bersama Dekbay, trophynya buat Dekbay :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar