Aku
setuju bahwa hidup adalah pilihan. Dan ini adalah pilihanku. Aku ingin
berwirausaha, dan tidak melamar kerja. Titik.
Semua
tentang wirausaha membuatku bergairah. Dan kini aku meyakini bahwa menuruti
gairah hidupku adalah tanggung jawab terhadap diriku sendiri. This is my passion! .Tantangannya adalah
aku harus memperjuangkan pilihanku. Aku tahu
tak akan mudah. Tapi aku yakin aku tidak akan menyerah.
Jiwa
wirausaha tumbuh pesat dalam diriku saat aku di bangku kuliah. Dua tahun
terakhir menjadi mahasiswa, aku menjalani usaha bersama dengan 2 orang temanku.
Kami berjualan produk herbal. Butuh waktu selama itu pula aku meyakinkan ibu
bahwa aku tidak akan bekerja setelah lulus kuliah. Aku benar-benar kecantol
dengan dunia wirausaha. Aku tak akan pernah menyalahkan kesibukanku berjualan
teh herbal saat itu sehingga penyelesaian skripsiku molor. Penyebabnya adalah
aku tak fokus. Jelas saja apa yang lebih menarik bagi kita akan menguras lebih
banyak perhatian daripada yang lainnya. Hingga akhirnya, aku cuti dari
aktifitas usaha dan fokus pada skripsi sekitar 2 bulan lebih. Aku simpan
semangat wirausahaku.
Aku
ingat sekali kakak menasehati pilihanku, “Idealisme
yang terbentuk semasa kuliah itu bagus. Tapi pada saatnya nanti kamu akan tahu
bagaimana idealismemu akan luntur. Seiring kamu dewasa, berumah tangga, dan
terjun ke masyarakat, kamu akan tahu bagaimana realita hidup yang sebenarnya.
Persaingan di dunia wirausaha pun semakin ketat.” Sebenarnya aku tak
memikirkan untung rugi secara teknis. Aku hanya tak ingin membohongi diri
sendiri. Alhamdulillah, aku bersyukur aku tak goyah mendengar nasehat kakak.
Aku tetap mengabaikan job fair, tak
memusingkan daftar CPNS, bahkan tak
minat legalisir ijazah. Ada yang bilang jangan sampai kuliah susah-susah tapi
ilmunya nggak dipakai. Oh jelas bukan begitu. Justru dengan wirausaha, ilmuku
akan banyak terpakai. Sekali lagi, aku tak berfikir seteknis itu.
Finally,
setelah fokusku hanya untuk skripsi, aku berhasil lulus. Welcome to the jungle!! Jika dulu banyak yang bertanya “Kapan
lulus?” kini pertanyaan berubah menjadi “Sudah kerja belum?”. Awalnya, setiap
ditanya seperti itu aku akan tersenyum dan menjawab “belum” dengan lembut. Hingga
akhirnya aku menyadari, bukankah ini saat yang tepat semua orang tahu bahwa aku
hanya ingin berwirausaha? Dan akhirnya
setiap ditanya “Sudah kerja belum?”, aku menjawab mantap “Saya ingin
wirausaha”. Tak disangka tak dinyana pertanyaan mereka berlanjut “Wirausaha?
Wirausaha apa?”. Namun aku terdiam, stuck!
Aku belum memikirkan jawabannya.
Inspirasi
tak mudah datang saat diundang, tapi pasti tidak datang jika tak diundang. Aku
sering browsing dan baca buku untuk
mencari ide usaha. Aku tak istirahat setelah wisuda. Aku langsung pulang
kampung dan janji pada diri sendiri akan segera merealisasikan ide usaha di
rumah.
Proses
mencari ide usaha ternyata tak mudah, panjang dan berliku. Ide pertamaku adalah
membuat abon ikan. Ikan yang kupilih adalah ikan lele. Dan setelah membuat abon
ikan lele, aku mual tiap melihat lele hingga sekarang. Selanjutnya adalah
membuat kerupuk lidah buaya. Aku mengumpulkan tanaman lidah buaya dari
sekeliling rumah, aku ambil yang besar dan sisanya aku tanam di pot. Aku
optimis sekali hingga akhirnya aku menanam lidah buaya dalam 10 pot. Lidah
buaya yang besar aku ambil dagingnya, aku buat adonan kemudian dikukus, diiris,
dijemur, baru digoreng. Prosesnya panjang dan melelahkan. Aku membuat kerupuk
lidah buaya dua kali, namun tekstur dan rasanya tak sesuai harapan.
Ide
usaha yang ketiga, aku mencoba membuat teh dari duri lidah buaya. Aku
membuatnya dua kali, namun tidak sesuai harapan lagi. Bahkan untuk ide ini, aku
sempat minta ijin menggunakan kebun bapak untuk budidaya lidah buaya. Malu
rasanya.
Selanjutnya
aku mencoba membuat puding. Aneka resep puding aku coba. Mulai dari puding
buah, puding coklat, puding busa, hingga puding karamel. Hasil pembuatan
pertama dan kedua berakhir di tempat sampah. Hasil pembuatan ketiga dan keempat
berakhir di mulutku. Tapi aku yakin tak layak dijual.
Apakah
aku menyerah? Tidak!
Aku
kembali berminat membuat abon. Aku harus berguru pada ahlinya. Aku tak boleh trial error terus-terusan. Setelah berguru
dengan pengusaha abon yang sungguh baik hati, ternyata aku tak akan berhasil membuat abon jika tak
mempunyai alat peniris minyak alias spinner.
Alat inilah yang bisa membuat abon kering sehingga tahan lama. Dengan modal
nekat, aku berani membeli spinner
dengan harga 2 juta rupiah. Ini adalah investasi yang besar bagiku. Setelah itu,
ternyata spinner yang aku beli harus
bolak balik servis berkali-kali. Bahkan pernah melukai tanganku saat mengoperasikannya. Tak apa, aku
tetap semangat untuk membuat abon. Dan kendala tak selesai di sini. Aku tak
punya mesin suwir, padahal alat ini juga vital. Dan aku tak punya uang lagi. Aku
menyuir manual, digeprek, diparut, dan akhirnya pada pembuatan abon yang ke 10 (sekitar itu..) aku
berhasil membuat abon ayam tanpa mesin suwir. Dan kini, dengan dibantu ibu dan satu pegawai, semoga usaha ini menebar manfaat ke depannya.
Apapun
tantangannya, jika itu passion kita.
Libas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar