Jumat, 12 Desember 2014

ABONKU

    

Aku setuju bahwa hidup adalah pilihan. Dan ini adalah pilihanku. Aku ingin berwirausaha, dan tidak melamar kerja. Titik.
Semua tentang wirausaha membuatku bergairah. Dan kini aku meyakini bahwa menuruti gairah hidupku adalah tanggung jawab terhadap diriku sendiri. This is my passion! .Tantangannya adalah  aku harus memperjuangkan pilihanku. Aku tahu tak akan mudah. Tapi aku yakin aku tidak akan menyerah.
Jiwa wirausaha tumbuh pesat dalam diriku saat aku di bangku kuliah. Dua tahun terakhir menjadi mahasiswa, aku menjalani usaha bersama dengan 2 orang temanku. Kami berjualan produk herbal. Butuh waktu selama itu pula aku meyakinkan ibu bahwa aku tidak akan bekerja setelah lulus kuliah. Aku benar-benar kecantol dengan dunia wirausaha. Aku tak akan pernah menyalahkan kesibukanku berjualan teh herbal saat itu sehingga penyelesaian skripsiku molor. Penyebabnya adalah aku tak fokus. Jelas saja apa yang lebih menarik bagi kita akan menguras lebih banyak perhatian daripada yang lainnya. Hingga akhirnya, aku cuti dari aktifitas usaha dan fokus pada skripsi sekitar 2 bulan lebih. Aku simpan semangat wirausahaku.
Aku ingat sekali kakak menasehati pilihanku, “Idealisme yang terbentuk semasa kuliah itu bagus. Tapi pada saatnya nanti kamu akan tahu bagaimana idealismemu akan luntur. Seiring kamu dewasa, berumah tangga, dan terjun ke masyarakat, kamu akan tahu bagaimana realita hidup yang sebenarnya. Persaingan di dunia wirausaha pun semakin ketat.” Sebenarnya aku tak memikirkan untung rugi secara teknis. Aku hanya tak ingin membohongi diri sendiri. Alhamdulillah, aku bersyukur aku tak goyah mendengar nasehat kakak. Aku tetap mengabaikan job fair, tak memusingkan daftar CPNS,  bahkan tak minat legalisir ijazah. Ada yang bilang jangan sampai kuliah susah-susah tapi ilmunya nggak dipakai. Oh jelas bukan begitu. Justru dengan wirausaha, ilmuku akan banyak terpakai. Sekali lagi, aku tak berfikir seteknis itu.

Finally, setelah fokusku hanya untuk skripsi, aku berhasil lulus. Welcome to the jungle!! Jika dulu banyak yang bertanya “Kapan lulus?” kini pertanyaan berubah menjadi “Sudah kerja belum?”. Awalnya, setiap ditanya seperti itu aku akan tersenyum dan menjawab “belum” dengan lembut. Hingga akhirnya aku menyadari, bukankah ini saat yang tepat semua orang tahu bahwa aku hanya ingin berwirausaha? Dan akhirnya setiap ditanya “Sudah kerja belum?”, aku menjawab mantap “Saya ingin wirausaha”. Tak disangka tak dinyana pertanyaan mereka berlanjut “Wirausaha? Wirausaha apa?”. Namun aku terdiam, stuck! Aku belum memikirkan jawabannya.
Inspirasi tak mudah datang saat diundang, tapi pasti tidak datang jika tak diundang. Aku sering browsing dan baca buku untuk mencari ide usaha. Aku tak istirahat setelah wisuda. Aku langsung pulang kampung dan janji pada diri sendiri akan segera merealisasikan ide usaha di rumah.
Proses mencari ide usaha ternyata tak mudah, panjang dan berliku. Ide pertamaku adalah membuat abon ikan. Ikan yang kupilih adalah ikan lele. Dan setelah membuat abon ikan lele, aku mual tiap melihat lele hingga sekarang. Selanjutnya adalah membuat kerupuk lidah buaya. Aku mengumpulkan tanaman lidah buaya dari sekeliling rumah, aku ambil yang besar dan sisanya aku tanam di pot. Aku optimis sekali hingga akhirnya aku menanam lidah buaya dalam 10 pot. Lidah buaya yang besar aku ambil dagingnya, aku buat adonan kemudian dikukus, diiris, dijemur, baru digoreng. Prosesnya panjang dan melelahkan. Aku membuat kerupuk lidah buaya dua kali, namun tekstur dan rasanya tak sesuai harapan.
Ide usaha yang ketiga, aku mencoba membuat teh dari duri lidah buaya. Aku membuatnya dua kali, namun tidak sesuai harapan lagi. Bahkan untuk ide ini, aku sempat minta ijin menggunakan kebun bapak untuk budidaya lidah buaya. Malu rasanya.
Selanjutnya aku mencoba membuat puding. Aneka resep puding aku coba. Mulai dari puding buah, puding coklat, puding busa, hingga puding karamel. Hasil pembuatan pertama dan kedua berakhir di tempat sampah. Hasil pembuatan ketiga dan keempat berakhir di mulutku. Tapi aku yakin tak layak dijual.
Apakah aku menyerah? Tidak!
Aku kembali berminat membuat abon. Aku harus berguru pada ahlinya. Aku tak boleh trial error terus-terusan. Setelah berguru dengan pengusaha abon yang sungguh baik hati, ternyata aku tak akan berhasil membuat abon jika tak mempunyai alat peniris minyak alias spinner. Alat inilah yang bisa membuat abon kering sehingga tahan lama. Dengan modal nekat, aku berani membeli spinner dengan harga 2 juta rupiah. Ini adalah investasi yang besar bagiku. Setelah itu, ternyata spinner yang aku beli harus bolak balik servis berkali-kali. Bahkan pernah melukai tanganku saat mengoperasikannya. Tak apa, aku tetap semangat untuk membuat abon. Dan kendala tak selesai di sini. Aku tak punya mesin suwir, padahal alat ini juga vital. Dan aku tak punya uang lagi. Aku menyuir manual, digeprek, diparut, dan akhirnya pada pembuatan abon yang ke 10 (sekitar itu..) aku berhasil membuat abon ayam tanpa mesin suwir. Dan kini, dengan dibantu ibu dan satu pegawai, semoga usaha ini menebar manfaat ke depannya.
Apapun tantangannya, jika itu passion kita. Libas!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar