Gerimis
pagi ini membuatku bertahan di rumah. Aku bersantai di ruang tamu menatap
gerimis yang semakin menderas. Aku ingin bertahan di sini. Sepilu apapun, aku
ingin tetap menunggu di sini. Aku berharap hujan membawa bidadariku kembali.
...............................................
“Ibu. Ibu
mau teh panas? Aku buatkan ya.. Dingin Brrr“ Aku mengusap-usapkan kedua telapak
tanganku.
“Boleh. Jangan
terlalu panas. Ibu sudah buru-buru.” Ibu mengelap sepatu hitamnya hingga
kinclong.
“Kan ini
baru jam 6 Bu.. Di luar juga masih hujan.”
“ Iya. Ibu mau ke tempat Bu Widya
dulu ngembaliin jas hujan kemarin. Habis itu langsung ke toko. Tu dah Ibu
masakin sekalian buat makan siang. Ibu pulang sore ya. Weekend gini biasanya toko rame.”
“Ow...”
Aku dengan
sigap menyeduh teh hangat untuk Ibu. Pagi yang dingin ini adalah kehangatan
bagiku. Sudah lebih dari cukup bagiku demi bercerita tentang tugas sekolah yang
luar biasa pada Ibu. Ibu mendengarkanku dengan seksama. Akupun bercerita dengan
antusias bahwa aku terpilih untuk mewakili kelas lomba debat bahasa inggris SMA
tingkat provinsi. Aku dan Ibu menikmati teh bersama, bercerita, dengan back sound rintik hujan.
“Nanti kalu
aku menang lombanya, Ibu mau kasih aku apa?” Aku menatap manja pada Ibu dan Ibu
membalas dengan senyum lembutnya. Senyuman Ibu sungguh mendamaikan.
“Semua yang
Ibu punya adalah punya kamu Nak.. tapi tetap nanti akan Ibu siapkan hadiah
spesial untuk kamu yang spesial..” Ibu bicara dengan sangat keibuan.
Tegukan
terakhir meredupkan mataku yang tadinya berbinar. Aku langsung beranjak mengikuti langkah Ibu hingga
teras depan. Ibu membuka payungnya dan langsung pergi menembus hujan. Aku
memandang tiap langkah Ibu dengan lebih fokus, hingga Ibu belok ke kanan
menghilang dari pandanganku. Rasanya aku masih sangat rindu. Masih ingin
bersama selalu.
................................................
Sejak saat
itu, aku merasa bulan tak lagi menerangi malam yang selalu membunuh dengan
racun sepi. Sepi itu menelusup jauh hingga jariku tak lagi bisa mengingat
seperti apa itu hangat. Hatiku tak mengenal kata sedih. Mataku tak menghiraukan
cahaya. Semua remang dan tak berbentuk. Apalagi jika hujan datang, sempurnalah
segala yang kurasa.
“Semua yang Ibu punya adalah punya kamu
Nak.. tapi tetap nanti akan Ibu siapkan hadiah spesial untuk kamu yang
spesial..” Terngiang perkataan terakhir Ibu yang hingga saat ini tak
membawa hadiah spesial itu. Bahkan Ibu tak pulang lagi. Aku hanya ingin Ibu
pulang. Tak apa tak membawa apapun. Aku hanya ingin Ibu pulang. Tak apa jika
tak sempat minum teh denganku. Aku hanya ingin Ibu pulang. Tak apa jika tak
memasak untukku. Aku hanya ingin Ibu pulang. Aku akan belajar lebih giat untuk
membuat Ibu bangga.
Ibu adalah
bidadariku. Menyebut namanya adalah cara terbaik untuk menggetarkan hati di kala
rindu. Meresapi nasehatnya adalah langkah terbaik di saat jenuh menyerang. Ibu
adalah sosok sempurna tempat bersandar di kala perih menerjang. Ibu tak lelah
mendoakan anak-anaknya. Akankah seorang anak dan Ibu akan tetap bersama di
kehidupan yang akan datang? Ah! Bahkan aku belum sempat membuat janji dengan
Ibu untuk bertemu lagi nantinya.
Satu tahun,
dua tahun, Ibu tak kunjung pulang. Aku sering menulis surat untuk Ibu di meja
putih di kamarku. Meja putih cantik pemberian Ibu yang paling kusayangi. Aku
gemar menulis di meja itu. Setiap sebelum belajar, aku tak pernah lupa berdoa agar
Ibu sehat selalu. Seraya menengadahkan tangan, berpuluh-puluh keinginan kulontarkan
dan berpuluh-puluh kata “Ibu” kuucapkan.
.............................................
Hujan
semakin deras. Hujan seperti inilah yang membawa bidadariku pergi. Aku yakin
hujan akan memulangkannya segera. Aku menunggu dengan diam. Menantang hujan
yang sebenarnya ingin berkawan. Aku menunggu seraya bernegoisasi dengan hujan.
Hujan yang seharusnya mendamaikan ternyata berkhianat padaku. Hingga saat
pelangi datang, aku menggigit bibir. Bidadariku tak pulang hari ini. Berapa
hujan lagi yang harus kulewatkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar