Jumat, 12 Desember 2014

BIDADARIKU PERGI

    


            Gerimis pagi ini membuatku bertahan di rumah. Aku bersantai di ruang tamu menatap gerimis yang semakin menderas. Aku ingin bertahan di sini. Sepilu apapun, aku ingin tetap menunggu di sini. Aku berharap hujan membawa bidadariku kembali.

...............................................

            “Ibu. Ibu mau teh panas? Aku buatkan ya.. Dingin Brrr“ Aku mengusap-usapkan kedua telapak tanganku.
            “Boleh. Jangan terlalu panas. Ibu sudah buru-buru.” Ibu mengelap sepatu hitamnya hingga kinclong.
            “Kan ini baru jam 6 Bu.. Di luar juga masih hujan.”
“ Iya. Ibu mau ke tempat Bu Widya dulu ngembaliin jas hujan kemarin. Habis itu langsung ke toko. Tu dah Ibu masakin sekalian buat makan siang. Ibu pulang sore ya. Weekend gini biasanya toko rame.”
            “Ow...”
            Aku dengan sigap menyeduh teh hangat untuk Ibu. Pagi yang dingin ini adalah kehangatan bagiku. Sudah lebih dari cukup bagiku demi bercerita tentang tugas sekolah yang luar biasa pada Ibu. Ibu mendengarkanku dengan seksama. Akupun bercerita dengan antusias bahwa aku terpilih untuk mewakili kelas lomba debat bahasa inggris SMA tingkat provinsi. Aku dan Ibu menikmati teh bersama, bercerita, dengan back sound rintik hujan.
            “Nanti kalu aku menang lombanya, Ibu mau kasih aku apa?” Aku menatap manja pada Ibu dan Ibu membalas dengan senyum lembutnya. Senyuman Ibu sungguh mendamaikan.
            “Semua yang Ibu punya adalah punya kamu Nak.. tapi tetap nanti akan Ibu siapkan hadiah spesial untuk kamu yang spesial..” Ibu bicara dengan sangat keibuan.
            Tegukan terakhir meredupkan mataku yang tadinya berbinar. Aku  langsung beranjak mengikuti langkah Ibu hingga teras depan. Ibu membuka payungnya dan langsung pergi menembus hujan. Aku memandang tiap langkah Ibu dengan lebih fokus, hingga Ibu belok ke kanan menghilang dari pandanganku. Rasanya aku masih sangat rindu. Masih ingin bersama selalu.

................................................

            Sejak saat itu, aku merasa bulan tak lagi menerangi malam yang selalu membunuh dengan racun sepi. Sepi itu menelusup jauh hingga jariku tak lagi bisa mengingat seperti apa itu hangat. Hatiku tak mengenal kata sedih. Mataku tak menghiraukan cahaya. Semua remang dan tak berbentuk. Apalagi jika hujan datang, sempurnalah segala yang kurasa.
            “Semua yang Ibu punya adalah punya kamu Nak.. tapi tetap nanti akan Ibu siapkan hadiah spesial untuk kamu yang spesial..” Terngiang perkataan terakhir Ibu yang hingga saat ini tak membawa hadiah spesial itu. Bahkan Ibu tak pulang lagi. Aku hanya ingin Ibu pulang. Tak apa tak membawa apapun. Aku hanya ingin Ibu pulang. Tak apa jika tak sempat minum teh denganku. Aku hanya ingin Ibu pulang. Tak apa jika tak memasak untukku. Aku hanya ingin Ibu pulang. Aku akan belajar lebih giat untuk membuat Ibu bangga.
            Ibu adalah bidadariku. Menyebut namanya adalah cara terbaik untuk menggetarkan hati di kala rindu. Meresapi nasehatnya adalah langkah terbaik di saat jenuh menyerang. Ibu adalah sosok sempurna tempat bersandar di kala perih menerjang. Ibu tak lelah mendoakan anak-anaknya. Akankah seorang anak dan Ibu akan tetap bersama di kehidupan yang akan datang? Ah! Bahkan aku belum sempat membuat janji dengan Ibu untuk bertemu lagi nantinya.
            Satu tahun, dua tahun, Ibu tak kunjung pulang. Aku sering menulis surat untuk Ibu di meja putih di kamarku. Meja putih cantik pemberian Ibu yang paling kusayangi. Aku gemar menulis di meja itu. Setiap sebelum belajar, aku tak pernah lupa berdoa agar Ibu sehat selalu. Seraya menengadahkan tangan, berpuluh-puluh keinginan kulontarkan dan berpuluh-puluh kata “Ibu” kuucapkan.
.............................................

            Hujan semakin deras. Hujan seperti inilah yang membawa bidadariku pergi. Aku yakin hujan akan memulangkannya segera. Aku menunggu dengan diam. Menantang hujan yang sebenarnya ingin berkawan. Aku menunggu seraya bernegoisasi dengan hujan. Hujan yang seharusnya mendamaikan ternyata berkhianat padaku. Hingga saat pelangi datang, aku menggigit bibir. Bidadariku tak pulang hari ini. Berapa hujan lagi yang harus kulewatkan?























Tidak ada komentar:

Posting Komentar