Kamis, 04 Februari 2016

SENJA TITA

         Jingga sore ini cantik sekali secantik dirimu. Kau terpoles ayu memakai gaun merah maron peninggalan Mbak Ning. Jari lentik itu berhena sederhana hasil karya tanganku. Kerudungmu menjuntai rapi berhiaskan sedikit rangkaian melati layaknya bando permata. Senyum tipis masih kau usahakan untuk menghibur hatimu. Meskipun aku tahu bening matamu sore ini adalah karena air mata, aku tak ingin melepas pandanganku. Aku ingin memastikan kau melewati hari ini dengan ria. Hingga detik ini, engkaulah inspirasi terkuat yang Allah hadirkan dalam kehidupanku. Aku menyadari betapa eloknya skenario Allah di sepanjang hidupmu.
            Kamarmu yang sudah biasa rapi kini lebih tertata dan wangi. Tak ada hiasan meriah layaknya kamar pengantin baru. Semuanya natural seperti yang kau inginkan. Aku memakai gamis terbaikku untuk meriasmu dengan riasan natural juga seperti yang kau inginkan.
            “Mbak,..” Kau memandangku dengan senyum tipis. Aku mendekatimu seraya memegang pundakmu yang sesekali bergetar.
            “Mbak akan selalu di sini menemanimu.” Aku membalas tatapanmu hangat.
           “Mbak, aku buta dengan masa depanku setelah ini. Ak aku...” Suaramu terhenti di kerongkongan.      “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini..”
             “Tita..semua manusia buta akan masa depan. Semua itu rahasia Ilahi. Kita harus yakin.
       “Tap, tapi Mas Bram sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri Mbak.. Mana mungkin aku mencintainya layaknya cintaku pada ...” Tita kembali tercekat.
            Aku tahu gejolak jiwa muda Tita masih membuncah, tahun ini dia baru lulus SMA. Aku juga memahami Tita tak akan mudah melupakan Dito, kekasihnya di sekolah.
            “Tita, cintamu pada Mas Bram tak akan pernah sama dengan cintamu pada Dito. Cinta Mas Bram padamu juga tidak akan sama dengan cinta Dito kepadamu. Kita hanya tahu bahwa hubungan yang halal adalah cinta yang benar.”
            Pundak Tita langsung berguncang hebat. Ah,  aku harus memperbaiki riasan di wajahnya lagi. Aku bertekad menenangkannya untuk terakhir kali. Semoga Allah mempermudah.
            “Tita, apa yang paling kau khawatirkan Sayang?” Aku menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Tita. Aku memegang kedua tangannya erat. Tita adalah orang paling tegar yang aku temui. Aku hanya perlu menenangkannya dengan segala kemampuanku.
            Tita Menggelengkan kepala.
            “Tita, kau tak salah sedikitpun dalam hal ini. Entah apa yang terjadi nanti, tidak ada yang perlu kau sesali, Sayang... ”
            “Mbak, sebelumnya aku takut sekali akan kematian. Aku benci orang-orang yang aku sayangi satu persatu meninggalkanku sendiri. Tapi sekarang, kematian adalah yang aku inginkan..” Air mata Tita jatuh menetes di tanganku. Hangat yang mengalir deras. Aku menggenggamnya lebih erat. Bukan untuk menguatkannya tapi lebih untuk menyembunyikan getaran tanganku sendiri. Tubuh Tita berguncang. Aku segera memeluknya dengan erat. Aku harus kuat. Tita membutuhkan dekapan yang menghangatkan jiwanya. Semoga malaikat juga mendekap kami.
            Aku tahu kisah Tita yang menurut banyak orang memilukan. Ayahnya meninggal saat usia Tita masih balita. Mungkin ia belum merasa sangat kehilangan saat itu. Hingga beranjak kelas 3 SD, ia kembali kehilangan kasih sayang Ibu. Aku tak tahu jelas sakit apa yang menimpa kedua orang tuanya. Sejak saat itu, Tita dan Mbak Ning tinggal berdua saja. Mbak Ning dan Tita hidup dengan cukup baik meskipun tanpa orang tua. Saudara-saudara hanya membantu seperlunya karena Mbak Ning memang setegar karang. Ia terlalu wibawa untuk sekedar diberi tatapan iba. Hingga akhirnya Mas Bram datang layaknya pangeran yang memerdekakan Cinderella untuk bahagia bersamanya.
            Mas Bram adalah seorang pengusaha sukses yang cukup mapan. Mas Bram menyempurnakan kehidupan Mbak Ning hingga memiliki 2 putri cantik, Fatim dan Faza. Mas Bram juga membuat hidup Tita jauh lebih bewarna. Tita mendapatkan apa yang ia butuhkan, kasih sayang, dan hidup yang berkecukupan. Tita pun tumbuh menjadi gadis pintar dan ceria. Kasih sayang Mbak Ning dan Mas Bram menjadi alasan Tita untuk menjadi yang terbaik di sekolahnya. Tita tumbuh memesona.
            “Aku sangat mencintai Dito Mbak...” Tita melepaskan pelukanku yang melemas. Ternyata benar dugaanku bahwa Tita masih belum rela tengtang kisahnya bersama  Dito.
            Dito adalah teman dekat Tita semenjak kelas 2 SMA. Aku tahu mereka saling mencintai layaknya pasangan muda mudi yang dimabuk asmara. Kabar terakhir, Tita meminta Dito untuk segera melamarnya. Tapi apa daya, orang tua Dito tidak merestui pernikahan mereka. Dito yang belum bekerja dan keadaan Tita yang sebatang kara menjadi alasan tersendiri bagi kedua orang tua Dito. Dan menurutku Dito mengambil langkah yang benar dengan menaati keinginan orang tuanya. Meskipun akhirnya mereka harus terluka. Dito dan Tita harus merelakan kisah cinta berakhir seperti ini.
            “Aku terlanjur mencintainya Mbak... Aku tahu bagaimana sakitnya kehilangan. Aku tak yakin Dito bisa melewati semua ini. Ia juga sangat mencintaiku...” Tita menutup kalimatnya dengan nafas yang panjang kemudian tersengal. Aku diam sejenak, aku mendongak ke langit-langit untuk mencegah air mataku tumpah. Aku tidak boleh menangis di depan Tita. Setidaknya tidak boleh saat ini.
            “Tita..., yang kuat ya Sayang.. Allah sayang sama Tita..” Aku kembali menjabat erat tangannya. Aku harus kembali menyamarkan gemetar tanganku yang tak tahan melihat bagaimana kisah ini berlanjut. Tak terbayangkan bagaimana jika aku berada di posisi Tita.
            Enam bulan lalu Mbak Ning meninggalkan Tita untuk selamanya. Tita kembali terpuruk. Aku sebagai tetangga terdekat, ikut melihat semua kisah ini dengan jelas.


                                                                     ...........................................

         Tepat setelah maghrib, Mas Bram mampir ke rumah dengan wajah sendu. Aku segera mempersilahkan ia duduk di ruang tamu. Rumah kami bersebelahan, tapi Mas Bram tak pernah datang ke rumah seorang diri seperti ini. Suasana tegang berangsur mencair setelah suamiku datang dan menemaniku menyambut Mas Bram.
            “Mbak, aku ingin menikahi Tita.”
            Aku sungguh terkejut mendengar kalimat pertama yang ia sampaikan.
            “Apa?!” Dahiku mengerut.
            “Tadi sore aku sudah menyampaikan maksudku pada Tita. Aku ingin Mbak membantuku menjelaskan lagi padanya agar tidak terjadi salah paham.” Mas Bram memintaku penuh harap.
            “Aku masih tak mengerti...” Dahiku semakin mengerut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Suamiku hanya terdiam.
            “Mbak dengar sendiri kan, Ning memintaku untuk menjaga Tita sampai kapanpun. Aku tak mungkin memulangkan Tita ke Jawa. Hidupnya kini menjadi tanggung jawabku. Aku tak bisa memisahkan Fatim dan Faza yang sudah dekat dengan Tita. Fatim dan Faza membutuhkan sosok ibu dan mereka membutuhkan Tita. Aku juga ingin bisa menjaga Tita dengan leluasa.”
            Aku terdiam sejenak. “Tapi, apa kata orang nanti?!”
            “Justru apa kata orang jika aku dan Tita hidup bersama berstatuskan saudara ipar? Keputusan akhir tetap pada Tita. Aku yakin ia akan mengerti tujuan baik dari semua ini. Kamilah keluarga Tita yang tertinggal. Semua memang butuh waktu.”
            “Aku bisa apa?”
            “Aku ingin Mbak mendampingi Tita. Mendengarkan pendapatnya. Keputusanku adalah demi Tita dan anak-anak.”
            Mas Bram pamit tanpa aku sempat menyuguhkan apapun. Aku melihat kebulatan tekadnya untuk melakukan ini semua. Aku terdiam dalam keadaan bingung yang sungguh bingung. Semalaman terjadi diskusi panjang dengan suami tentang langkah apa yang sebaiknya kuambil. Butuh waktu lama untuk membuatku mengerti. Semua ini tak mudah bagiku, apalagi untuk Tita.

                                                                           ...................................

            “Tita.. Mas Bram tidak pernah dan tidak akan memaksa kamu. Semua keputusan ada padamu. Sebelumnya kamu sudah menundukkan kepala tanda setuju, apakah sekarang keputusanmu masih sama?”
            “Apakah Dito akan baik-baik saja Mbak?” Tita menatapku dengan mata beningnya penuh air mata. Cintanya pada Dito tak dapat dipungkiri benar-benar ada.
            “Dito akan baik-baik saja. Dia punya keluarga yang bijak. Dito pun adalah anak yang kuat. Ia mengerti apa yang seharusnya terjadi. Semua butuh waktu Ta. Tak ada yang lebih indah selain cinta yang diridhoiNya. Kalian harus saling mendoakan. Percayakan sama Allah.”
            “Aku sangat mencintainya Mbak.. “
            “Ta... Mas Bram juga sangat mencintaimu. Mas Bram juga sangat mencintai Mbak Ning. Tapi tak selamanya cinta akan berjalan sesuai akal kita. Cinta yang hakiki adalah milik penguasa kita. Suami Mbak sering mengingatkan itu. Tak mudah memaknai cinta Ta. Ini adalah kisahmu, Mbak akan selalu bersamamu”
            “Mas Bram sudah seperti kakakku...” Tita memelankan suaranya.
            “Bukan... Mas Bram adalah calon suami yang tepat untukmu. ” Aku menggigit bibir.
            Tita terlihat mengambil nafas panjang, ia mendongakkan wajahnya menatap langit seperti berdoa. Aku membiarkan beberapa detik berlalu tanpa suara.
Tita kemudian menatapku. Ia menghapus air matanya dan menarik senyum tipis seraya berkata, “Aku siap Mbak. Bismillah..”
            “Alhamdulillah..” Aku kembali memeluk Tita. Kali ini lebih erat. Haru biru meloloskan air mataku hingga membasahi pundak Tita.  Bidadari dunia ada di dekapanku.
            Senja mendayu.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar