Jingga sore ini
cantik sekali secantik dirimu. Kau terpoles ayu memakai gaun merah maron
peninggalan Mbak Ning. Jari lentik itu berhena sederhana hasil karya tanganku. Kerudungmu
menjuntai rapi berhiaskan sedikit rangkaian melati layaknya bando permata. Senyum
tipis masih kau usahakan untuk menghibur hatimu. Meskipun aku tahu bening
matamu sore ini adalah karena air mata, aku tak ingin melepas pandanganku. Aku
ingin memastikan kau melewati hari ini dengan ria. Hingga detik ini, engkaulah
inspirasi terkuat yang Allah hadirkan dalam kehidupanku. Aku menyadari betapa
eloknya skenario Allah di sepanjang hidupmu.
Kamarmu yang sudah biasa rapi kini
lebih tertata dan wangi. Tak ada hiasan meriah layaknya kamar pengantin baru.
Semuanya natural seperti yang kau inginkan. Aku memakai gamis terbaikku untuk
meriasmu dengan riasan natural juga seperti yang kau inginkan.
“Mbak,..” Kau memandangku dengan
senyum tipis. Aku mendekatimu seraya memegang pundakmu yang sesekali bergetar.
“Mbak akan selalu di sini
menemanimu.” Aku membalas tatapanmu hangat.
“Mbak, aku buta dengan masa depanku
setelah ini. Ak aku...” Suaramu terhenti di kerongkongan. “Aku tidak tahu apa
yang akan terjadi padaku setelah ini..”
“Tita..semua manusia buta akan masa
depan. Semua itu rahasia Ilahi. Kita harus yakin.
“Tap, tapi Mas Bram sudah kuanggap
sebagai kakakku sendiri Mbak.. Mana mungkin aku mencintainya layaknya cintaku
pada ...” Tita kembali tercekat.
Aku tahu gejolak jiwa muda Tita
masih membuncah, tahun ini dia baru lulus SMA. Aku juga memahami Tita tak akan
mudah melupakan Dito, kekasihnya di sekolah.
“Tita, cintamu pada Mas Bram tak
akan pernah sama dengan cintamu pada Dito. Cinta Mas Bram padamu juga tidak
akan sama dengan cinta Dito kepadamu. Kita hanya tahu bahwa hubungan yang halal
adalah cinta yang benar.”
Pundak Tita langsung berguncang
hebat. Ah, aku harus memperbaiki riasan di wajahnya lagi.
Aku bertekad menenangkannya untuk terakhir kali. Semoga Allah mempermudah.
“Tita, apa yang paling kau
khawatirkan Sayang?” Aku menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Tita. Aku
memegang kedua tangannya erat. Tita adalah orang paling tegar yang aku temui.
Aku hanya perlu menenangkannya dengan segala kemampuanku.
Tita Menggelengkan kepala.
“Tita, kau tak salah sedikitpun
dalam hal ini. Entah apa yang terjadi nanti, tidak ada yang perlu kau sesali,
Sayang... ”
“Mbak, sebelumnya aku takut sekali
akan kematian. Aku benci orang-orang yang aku sayangi satu persatu
meninggalkanku sendiri. Tapi sekarang, kematian adalah yang aku inginkan..” Air
mata Tita jatuh menetes di tanganku. Hangat yang mengalir deras. Aku
menggenggamnya lebih erat. Bukan untuk menguatkannya tapi lebih untuk
menyembunyikan getaran tanganku sendiri. Tubuh Tita berguncang. Aku segera
memeluknya dengan erat. Aku harus kuat. Tita membutuhkan dekapan yang
menghangatkan jiwanya. Semoga malaikat juga mendekap kami.
Aku tahu kisah Tita yang menurut
banyak orang memilukan. Ayahnya meninggal saat usia Tita masih balita. Mungkin
ia belum merasa sangat kehilangan saat itu. Hingga beranjak kelas 3 SD, ia
kembali kehilangan kasih sayang Ibu. Aku tak tahu jelas sakit apa yang menimpa
kedua orang tuanya. Sejak saat itu, Tita dan Mbak Ning tinggal berdua saja. Mbak
Ning dan Tita hidup dengan cukup baik meskipun tanpa orang tua. Saudara-saudara
hanya membantu seperlunya karena Mbak Ning memang setegar karang. Ia terlalu
wibawa untuk sekedar diberi tatapan iba. Hingga akhirnya Mas Bram datang
layaknya pangeran yang memerdekakan Cinderella untuk bahagia bersamanya.
Mas Bram adalah seorang pengusaha sukses
yang cukup mapan. Mas Bram menyempurnakan kehidupan Mbak Ning hingga memiliki 2
putri cantik, Fatim dan Faza. Mas Bram juga membuat hidup Tita jauh lebih bewarna.
Tita mendapatkan apa yang ia butuhkan, kasih sayang, dan hidup yang
berkecukupan. Tita pun tumbuh menjadi gadis pintar dan ceria. Kasih sayang Mbak
Ning dan Mas Bram menjadi alasan Tita untuk menjadi yang terbaik di sekolahnya.
Tita tumbuh memesona.
“Aku sangat mencintai Dito Mbak...”
Tita melepaskan pelukanku yang melemas. Ternyata benar dugaanku bahwa Tita
masih belum rela tengtang kisahnya bersama Dito.
Dito adalah teman dekat Tita
semenjak kelas 2 SMA. Aku tahu mereka saling mencintai layaknya pasangan muda
mudi yang dimabuk asmara. Kabar terakhir, Tita meminta Dito untuk segera
melamarnya. Tapi apa daya, orang tua Dito tidak merestui pernikahan mereka.
Dito yang belum bekerja dan keadaan Tita yang sebatang kara menjadi alasan
tersendiri bagi kedua orang tua Dito. Dan menurutku Dito mengambil langkah yang
benar dengan menaati keinginan orang tuanya. Meskipun akhirnya mereka harus terluka.
Dito dan Tita harus merelakan kisah cinta berakhir seperti ini.
“Aku terlanjur mencintainya Mbak... Aku
tahu bagaimana sakitnya kehilangan. Aku tak yakin Dito bisa melewati semua ini.
Ia juga sangat mencintaiku...” Tita menutup kalimatnya dengan nafas yang
panjang kemudian tersengal. Aku diam sejenak, aku mendongak ke langit-langit
untuk mencegah air mataku tumpah. Aku tidak boleh menangis di depan Tita.
Setidaknya tidak boleh saat ini.
“Tita..., yang kuat ya Sayang..
Allah sayang sama Tita..” Aku kembali menjabat erat tangannya. Aku harus
kembali menyamarkan gemetar tanganku yang tak tahan melihat bagaimana kisah ini
berlanjut. Tak terbayangkan bagaimana jika aku berada di posisi Tita.
Enam bulan lalu Mbak Ning
meninggalkan Tita untuk selamanya. Tita kembali terpuruk. Aku sebagai tetangga
terdekat, ikut melihat semua kisah ini dengan jelas.
...........................................
Tepat setelah maghrib, Mas Bram
mampir ke rumah dengan wajah sendu. Aku segera mempersilahkan ia duduk di ruang
tamu. Rumah kami bersebelahan, tapi Mas Bram tak pernah datang ke rumah seorang
diri seperti ini. Suasana tegang berangsur mencair setelah suamiku datang dan
menemaniku menyambut Mas Bram.
“Mbak, aku ingin menikahi Tita.”
Aku sungguh terkejut mendengar
kalimat pertama yang ia sampaikan.
“Apa?!” Dahiku mengerut.
“Tadi sore aku sudah menyampaikan
maksudku pada Tita. Aku ingin Mbak membantuku menjelaskan lagi padanya agar
tidak terjadi salah paham.” Mas Bram memintaku penuh harap.
“Aku masih tak mengerti...” Dahiku semakin
mengerut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Suamiku hanya terdiam.
“Mbak dengar sendiri kan, Ning
memintaku untuk menjaga Tita sampai kapanpun. Aku tak mungkin memulangkan Tita
ke Jawa. Hidupnya kini menjadi tanggung jawabku. Aku tak bisa memisahkan Fatim
dan Faza yang sudah dekat dengan Tita. Fatim dan Faza membutuhkan sosok ibu dan
mereka membutuhkan Tita. Aku juga ingin bisa menjaga Tita dengan leluasa.”
Aku terdiam sejenak. “Tapi, apa kata
orang nanti?!”
“Justru apa kata orang jika aku dan
Tita hidup bersama berstatuskan saudara ipar? Keputusan akhir tetap pada Tita.
Aku yakin ia akan mengerti tujuan baik dari semua ini. Kamilah keluarga Tita
yang tertinggal. Semua memang butuh waktu.”
“Aku bisa apa?”
“Aku ingin Mbak mendampingi Tita.
Mendengarkan pendapatnya. Keputusanku adalah demi Tita dan anak-anak.”
Mas Bram pamit tanpa aku sempat menyuguhkan
apapun. Aku melihat kebulatan tekadnya untuk melakukan ini semua. Aku terdiam
dalam keadaan bingung yang sungguh bingung. Semalaman terjadi diskusi panjang
dengan suami tentang langkah apa yang sebaiknya kuambil. Butuh waktu lama untuk
membuatku mengerti. Semua ini tak mudah bagiku, apalagi untuk Tita.
...................................
“Tita.. Mas Bram tidak pernah dan
tidak akan memaksa kamu. Semua keputusan ada padamu. Sebelumnya kamu sudah
menundukkan kepala tanda setuju, apakah sekarang keputusanmu masih sama?”
“Apakah Dito akan baik-baik saja
Mbak?” Tita menatapku dengan mata beningnya penuh air mata. Cintanya pada Dito
tak dapat dipungkiri benar-benar ada.
“Dito akan baik-baik saja. Dia punya
keluarga yang bijak. Dito pun adalah anak yang kuat. Ia mengerti apa yang
seharusnya terjadi. Semua butuh waktu Ta. Tak ada yang lebih indah selain cinta
yang diridhoiNya. Kalian harus saling mendoakan. Percayakan sama Allah.”
“Aku sangat mencintainya Mbak.. “
“Ta... Mas Bram juga sangat mencintaimu.
Mas Bram juga sangat mencintai Mbak Ning. Tapi tak selamanya cinta akan
berjalan sesuai akal kita. Cinta yang hakiki adalah milik penguasa kita. Suami
Mbak sering mengingatkan itu. Tak mudah memaknai cinta Ta. Ini adalah kisahmu,
Mbak akan selalu bersamamu”
“Mas Bram sudah seperti kakakku...”
Tita memelankan suaranya.
“Bukan... Mas Bram adalah calon
suami yang tepat untukmu. ” Aku menggigit bibir.
Tita terlihat mengambil nafas
panjang, ia mendongakkan wajahnya menatap langit seperti berdoa. Aku membiarkan
beberapa detik berlalu tanpa suara.
Tita
kemudian menatapku. Ia menghapus air matanya dan menarik senyum tipis seraya
berkata, “Aku siap Mbak. Bismillah..”
“Alhamdulillah..” Aku kembali
memeluk Tita. Kali ini lebih erat. Haru biru meloloskan air mataku hingga
membasahi pundak Tita. Bidadari dunia
ada di dekapanku.
Senja mendayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar