Jumat, 29 November 2013

IBU dan SISIL

Ibu adalah sosok terhormat yang sudah sepantasnya mendapatkan pengabdian terbaik dari seorang anak. Ibu. Menyebut namanya adalah cara terbaik untuk menggetarkan hati di kala rindu. Meresapi nasehatnya adalah langkah terdahsyat  di saat jenuh menyerang. Ibu adalah sosok sempurna tempat bersandar di kala perih menerjang. Ibu tak lelah mendoakan anak-anaknya. Dan bagi anak, mendoakan Ibu adalah minimal yang bisa dilakukan. Akankah seorang anak dan Ibu akan tetap bersama di kehidupan yang akan datang?
            Hari minggu yang mendung. Sisil tidak ada rencana keluar hari ini. Cuciannya menumpuk dan 3 tugas paper belum ia sentuh. Pagi yang dingin ini mengusik Sisil untuk menyeduh teh panas.
            “ Ibu. Ibu mau teh panas? Aku buatkan ya. Sekalian ni. “
            “Boleh. Jangan terlalu panas. Ibu sudah buru-buru.”
            “Kan ini baru jam 6 Ibu.”
            “ Iya. Ibu mau ke tempat Bu Cathrine dulu ngembaliin jas hujan kemarin. Habis itu Ibu langsung ke gereja. Tu dah Ibu masakin sekalian buat makan siang. Mungkin nanti Ibu pulangnya agak telat.”
            “Ow...”
            Sisil sigap menyeduh teh hangat untuk Ibunya. Ibunya sudah menunggu di ruang tamu. Sisil langsung menyerahkan secangkir teh hangat pada Ibunya tersayang. Jarang sekali Sisil ngobrol berdua dengan Ibunya. Di waktu yang pendek itu Sisil merasa lebih dari cukup bisa menikmati teh hangat bersama Ibunya.
            Di tegukan terakhir, Sisil beranjak untuk mengantar ibunya sampai teras depan. Ia memandang tiap langkah Ibunya dengan sangat fokus. Sisil masih sangat rindu. Rindu dengan Ibunya. Rindu sangat. Sisil setengah tak rela membiarkan Ibunya pergi begitu saja. Sisil ingin berada di dekat Ibunya lebih lama. Fokusnya kini menerawang, Sisil membayangkan sosok Ibu yang berbeda. Ibu yang sama dengan keyakinan yang sama.

................................................

            Sisil memilih agamanya sendiri. Saat kelas 3 SD Sisil tersisihkan dari kelas karena hanya dia yang beragama lain. Awalnya ia tak mau ambil pusing dengan itu. Tapi kelama-lamaan ia mulai gerah. Ia merasa dibedakan dengan teman-temanya. Semenjak itu Sisil merajuk ingin masuk Islam. Alasannya hanya sederhana, tak ingin dibedakan. Keinginan Sisil kecil tak menemui rintangan berarti dan ia istiqomah hingga kini. Dukungan ia dapatkan dari Bapaknya yang dulu adalah muslim sebelum menikah. Sisil hidup dalam keluarga yang demokratis. Ia mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari keluarganya. Sisil pun tumbuh menjadi anak yang cerdas dan lincah.
            Hingga suatu waktu datanglah kabar itu. Kabar tentang keputusan orang tuanya untuk berpisah. Sisil tak terima dengan keputusan itu. Berhari-hari ia berdoa demi menyatukan kembali orang tua mereka.
Situasi rumah tak lagi kondusif. Sisil mulai terbebani. Di kamarnya yang remang, Bapaknya menghampiri dengan membawa dua tas pakaian besar.
            “Sisil, sudah. Kamu belajar yang rajin. Ini Bapak tinggalkan alamat Bapak. Kamu bisa ke sana kapan saja. Maafkan Bapak. Inilah takdir. Tapi yakinlah kasih sayang Bapak nggak berkurang sedikitpun padamu.”
            Sisil tetap diam tak bergeming dengan posisi meringkuknya. Air matanya habis. Yang ada hanya getar tubuhnya. Tatapan matanya kosong menerawang foto keluarga yang ia usap berjam-jam. Usapan tangan  mendarat di kepala Sisil dan satu kecupan terasa dingin di pipi kanannya.
            “Jika kamu ingin tinggal sama Bapak, besuk  atau kapanpun kamu mau akan bapak jemput.”. Itulah kata terakhir yang keluar dari lelaki yang sangat Sisil sayangi. Dan malam itu menjadi malam yang ingin Sisil hapus dari kehidupannya.
            Kepergian bapaknya serasa telah membawa separuh semangat hidupnya. Ia merasa sendiri. Setelah kejadian itu, yang ada hanya perih. Yang belum terobati hingga sekarang.
            Adakalanya Sisil ingin sekali pergi bersama ayahnya. Tapi ia tidak nyaman dengan keluarga baru ayahnya. Ia tak mau menyuburkan kebencian yang sudah ada. Baginya sekarang, ibunya adalah segala-galanya. Ia tak mau kehilangan separuh semangat hidupnya lagi.

....................................................

            Minggu pagi itu Sisil awali dengan membaca bahan papernya. Mencuci baju ia urungkan melihat cuaca yang hampir positif akan hujan. Kamar mungilnya merupakan saksi bisu akan kegigihannya menjalani hidup. Buku-buku yang berderet rapi di raknya yang besar adalah bukti keseriusannya menuntut ilmu. Sisil ingin membuat Ibunya bangga. Sisil ingin berilmu hingga dapat membuat Ibunya bahagia.
            Meja belajar warna putih di kamarnya adalah pemberian Ibunya yang paling ia sayangi. Setiap sebelum belajar, Sisil tak lupa berdoa demi kesehatan Ibunya. Seraya menengadahkan tangan, berpuluh-puluh keinginan ia lontarkan dan berpuluh-puluh kata “Ibu” ia ucapkan. Tak jarang air mata membasahi buku-buku di hadapannya. Sisil khawatir, apakah doa-doanya akan dikabulkan. Sisil memohon ampun untuk Ibunya yang menyembah Tuhan yang salah. Akankah diterima doa itu? Sisil menggigit bibir getir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar