Ibu adalah sosok terhormat yang
sudah sepantasnya mendapatkan pengabdian terbaik dari seorang anak. Ibu.
Menyebut namanya adalah cara terbaik untuk menggetarkan hati di kala rindu.
Meresapi nasehatnya adalah langkah terdahsyat di saat jenuh menyerang. Ibu adalah sosok
sempurna tempat bersandar di kala perih menerjang. Ibu tak lelah mendoakan
anak-anaknya. Dan bagi anak, mendoakan Ibu adalah minimal yang bisa dilakukan.
Akankah seorang anak dan Ibu akan tetap bersama di kehidupan yang akan datang?
Hari minggu
yang mendung. Sisil tidak ada rencana keluar hari ini. Cuciannya menumpuk dan 3
tugas paper belum ia sentuh. Pagi yang dingin ini mengusik Sisil untuk menyeduh
teh panas.
“ Ibu. Ibu
mau teh panas? Aku buatkan ya. Sekalian ni. “
“Boleh.
Jangan terlalu panas. Ibu sudah buru-buru.”
“Kan ini
baru jam 6 Ibu.”
“ Iya. Ibu
mau ke tempat Bu Cathrine dulu ngembaliin jas hujan kemarin. Habis itu Ibu
langsung ke gereja. Tu dah Ibu masakin sekalian buat makan siang. Mungkin nanti
Ibu pulangnya agak telat.”
“Ow...”
Sisil sigap
menyeduh teh hangat untuk Ibunya. Ibunya sudah menunggu di ruang tamu. Sisil
langsung menyerahkan secangkir teh hangat pada Ibunya tersayang. Jarang sekali Sisil
ngobrol berdua dengan Ibunya. Di waktu yang pendek itu Sisil merasa lebih dari
cukup bisa menikmati teh hangat bersama Ibunya.
Di tegukan
terakhir, Sisil beranjak untuk mengantar ibunya sampai teras depan. Ia
memandang tiap langkah Ibunya dengan sangat fokus. Sisil masih sangat rindu.
Rindu dengan Ibunya. Rindu sangat. Sisil setengah tak rela membiarkan Ibunya
pergi begitu saja. Sisil ingin berada di dekat Ibunya lebih lama. Fokusnya kini
menerawang, Sisil membayangkan sosok Ibu yang berbeda. Ibu yang sama dengan
keyakinan yang sama.
................................................
Sisil
memilih agamanya sendiri. Saat kelas 3 SD Sisil tersisihkan dari kelas karena
hanya dia yang beragama lain. Awalnya ia tak mau ambil pusing dengan itu. Tapi
kelama-lamaan ia mulai gerah. Ia merasa dibedakan dengan teman-temanya. Semenjak
itu Sisil merajuk ingin masuk Islam. Alasannya hanya sederhana, tak ingin
dibedakan. Keinginan Sisil kecil tak menemui rintangan berarti dan ia istiqomah
hingga kini. Dukungan ia dapatkan dari Bapaknya yang dulu adalah muslim sebelum
menikah. Sisil hidup dalam keluarga yang demokratis. Ia mendapatkan kasih
sayang yang berlimpah dari keluarganya. Sisil pun tumbuh menjadi anak yang
cerdas dan lincah.
Hingga
suatu waktu datanglah kabar itu. Kabar tentang keputusan orang tuanya untuk berpisah.
Sisil tak terima dengan keputusan itu. Berhari-hari ia berdoa demi menyatukan
kembali orang tua mereka.
Situasi rumah tak lagi kondusif.
Sisil mulai terbebani. Di kamarnya yang remang, Bapaknya menghampiri dengan
membawa dua tas pakaian besar.
“Sisil,
sudah. Kamu belajar yang rajin. Ini Bapak tinggalkan alamat Bapak. Kamu bisa ke
sana kapan saja. Maafkan Bapak. Inilah takdir. Tapi yakinlah kasih sayang Bapak
nggak berkurang sedikitpun padamu.”
Sisil tetap
diam tak bergeming dengan posisi meringkuknya. Air matanya habis. Yang ada
hanya getar tubuhnya. Tatapan matanya kosong menerawang foto keluarga yang ia usap
berjam-jam. Usapan tangan mendarat di
kepala Sisil dan satu kecupan terasa dingin di pipi kanannya.
“Jika kamu
ingin tinggal sama Bapak, besuk atau
kapanpun kamu mau akan bapak jemput.”. Itulah kata terakhir yang keluar dari
lelaki yang sangat Sisil sayangi. Dan malam itu menjadi malam yang ingin Sisil
hapus dari kehidupannya.
Kepergian
bapaknya serasa telah membawa separuh semangat hidupnya. Ia merasa sendiri.
Setelah kejadian itu, yang ada hanya perih. Yang belum terobati hingga
sekarang.
Adakalanya
Sisil ingin sekali pergi bersama ayahnya. Tapi ia tidak nyaman dengan keluarga
baru ayahnya. Ia tak mau menyuburkan kebencian yang sudah ada. Baginya
sekarang, ibunya adalah segala-galanya. Ia tak mau kehilangan separuh semangat
hidupnya lagi.
....................................................
Minggu pagi
itu Sisil awali dengan membaca bahan papernya. Mencuci baju ia urungkan melihat
cuaca yang hampir positif akan hujan. Kamar mungilnya merupakan saksi bisu akan
kegigihannya menjalani hidup. Buku-buku yang berderet rapi di raknya yang besar
adalah bukti keseriusannya menuntut ilmu. Sisil ingin membuat Ibunya bangga.
Sisil ingin berilmu hingga dapat membuat Ibunya bahagia.
Meja
belajar warna putih di kamarnya adalah pemberian Ibunya yang paling ia sayangi.
Setiap sebelum belajar, Sisil tak lupa berdoa demi kesehatan Ibunya. Seraya
menengadahkan tangan, berpuluh-puluh keinginan ia lontarkan dan berpuluh-puluh
kata “Ibu” ia ucapkan. Tak jarang air mata membasahi buku-buku di hadapannya.
Sisil khawatir, apakah doa-doanya akan dikabulkan. Sisil memohon ampun untuk
Ibunya yang menyembah Tuhan yang salah. Akankah diterima doa itu? Sisil
menggigit bibir getir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar