Jumat, 29 November 2013

NANTI

                “Bundaaaaaaaaaaaaaaa Aaaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!”
Akupun terbelalak, “Ada apa adek?!”
“Ituuu!!! Ituuuu!! Ada kecoa! Kecoa! Hiiiiii!!!!!”. Wajah Icha sungguh lucu karena melihat kecoa itu. Segera ia menghambur naik ke atas kursi belajarnya. Akupun hanya terbengong melihat tingkah lucu buah hatiku.
“Bunda, usir aja kecoanya dari rumah ini. Aku geli Bundaaa!!!”
“Hmm.. iya sayang. Makanya ayo kita bersihkan laci kamu ini. Siapa hayo yang sering nyimpen barang-barang yang udah nggak dipakai kaya gini..”
“Bunda, semua itu barang pribadi. Jangan disentuh! Aku aja baca buku Bunda nggak boleh. Katanya pribadi kan?”
Aku pun nyengir mendengar semua itu, “Icha... emang kamu bisa baca tulisan Bunda? Karena kamu nggak bisa baca makanya Bunda nggak mau kasih liat buku Bunda..”
“Ayah mau bacain kok. Lagian tulisan Bunda bersambung gitu. Aku kan baru kelas 1, belum diajari. Bunda gimana sih!”, jawab Icha sewot.
Aku terus mengobok-ngobok isi laci Icha tak menghiraukan gerutuannya. Butuh perjuangan yang panjang hingga akhirnya aku bisa menjamah barang-barang miliknya. Ternyata selama ini Icha menyembunyikan kunci lacinya di dalam kulkas. Entahlah apa yang ia pikirkan.
“Ini pulpen udah mati masih disimpan buat apa hayo? Trus ini permen karet kadaluwarsa? Ada uang limapuluh ribu darimana? Aduh Icha ini kok ada kecebong di plastik, ntar mati gimana?”, Keningku benar-benar mengkerut melihat isi laci buah hatiku. Sepertinya aku belum bisa menjadi Ibu yang baik. Tiba-tiba ada sedikit kekecewaan menyelinap dalam hatiku.
“Trus ini bando dari Bunda kenapa nggak dipakai, malah disimpan? Kenapa Icha sayang?”
Masih dengan wajah sewot, “Bunda..aku sudah bilang itu semua barang pribadiku. Semua ada kenangannya Bunda. Bunda juga menyimpan banyak barang kenangan di kamar kan?”
“Hah? Yang mana Cha?”
“Itu tu kayak boneka, celengan bekas, bunga kering, selendang, yang ada album fotonya. Trus ada banyak lagi. Masak Bunda nyimpen undangan kadaluwarsa juga.. ”
Deg!
Tiba-tiba kerinduanku pada mereka terasa sangat. Seolah-olah ingin bertemu dengan mereka saat ini juga. Ada rasa yang tak terdefinisikan. Lebih dari rindu. Lebih dari ingin bertemu. Serasa ingin tak berpisah. Tatapanku menerawang. Teringat semua memori masa kuliah yang selalu kurindukan. Mataku berkaca-kaca melepaskan semua pikiran. Apa yang mereka lakukan sekarang? Apakah mereka sebahagia aku merawat buah hati? Apakah ada yang pilek? Apakah iman mereka baik-baik saja? Ah! Sungguh tak sengaja aku menyimpan semua barang-barang itu. Sepertinya barang-barang itu begitu saja tersimpan rapi layaknya memori yang membersamainya yang tersimpan amat rapi.
Boneka itu, aku ingat pertama kali aku menjumpainya. Tiba-tiba boneka itu muncul di keranjang sepedaku. Hesty juga menyelipkan surat kecil untukku. Celengan lumba-lumba yang dulu tiba-tiba nangkring di bantalku, adalah kado miladku. Selendang hadiah pernikahanku dari Embun. Bunga mawar kering adalah pemberian dari Umi saat ia minta maaf padaku. Album foto, undangan kadaluwarsa, dan semuanya, aku mengingatnya dengan sangat baik. Mereka di hatiku. Saudara-saudara seiman yang sangat kusayangi hingga detik ini dan kupastikan hingga nanti.
Aku mengingat dengan jelas segala wujud kasih sayang di antara kami. Sesederhana apapun. Masih terasa hangat sampai sekarang. Benar-benar abstrak namun dimengerti oleh hati. Itulah ukhuwah. Jalinan kokoh yang timbul antara kami sebagai buah manis dari keimanan ini. Sungguh merupakan karunia besar aku bisa merasakannya. Ukhuwah inilah yang mampu menjagaku dari dahsyatnya duniawi. Ukhuwah inilah yang selalu mengingatkanku bahwa ada tempat paling layak bagi siapa-siapa yang saling mencintai karena Allah. Dan ukhuwah inilah yang membuatku selalu menyimpan rindu tiada habisnya.
Sudah lama kami tak bersua. Terakhir adalah saat pernikahan si Herman. Itupun 2 tahun silam. Dan tak semua bisa aku jumpai di sana. Wajar saja, domisili kami yang sudah menyebar seantero Indonesia merupakan salah satu faktornya. Rindu sekali hati ini melihat senyum-senyum mereka. Apakah Nana masih selugu dulu ya? Wajah polosnya tak bisa kulupakan. Apakah Chika masih sangat keibuan? Dia sering memelukku kapanpun dia mau. Bagaimana dengan si Rosa? Ara? Ah! Tak bosan aku memikirkan mereka. Kabar dari mereka lebih berharga daripada kabar-kabar para artis top di televisi.
Tapi jangan salah. Meskipun hampir 2 tahun kami tak bersua. Hubungan kami tetap lancar. Aku tahu minggu kemarin Desi membuka toko barunya. Aku tahu Agus sedang berbahagia dengan putra pertamanya. Meskipun mereka jauh di sana. Tak ada yang mampu menepis bahwa kami merasakan kedekatan yang tak terhingga. Dan kabar yang paling membahagiakan adalah Anis yang selama ini berdomisili di Kalimantan akan ke Yogyakarta besuk lusa untuk berlibur. Dia setuju untuk menginap di tempatku. Aku tak sabar melihatnya berada satu meter di depanku. Aku tak sabar mengenalkan Icha padanya. Dan aku pasti akan melayani tamu istimewaku ini semaksimal mungkin.
“Bunda!.. Bunda!”
“Iya!”.. Astaghfirullaha aku tadi melamun.
“Bunda melamun ya.! Itu semua barang-barang Bunda pas kecil kan?”
Akupun tersenyum dan menghela nafas panjang. Icha dan ayahnya memang sama-same kepo “_”, “Icha.. itu foto-foto waktu Bunda kuliah dulu. Waktu Bunda udah gede. Itu barang-barang hadiah dari temen-temen Bunda.”
                Icha melongo mendengar jawabanku. Akupun lanjut menjelaskan, “Iya tu wujud sayang Bunda ke temen-temen Bunda. Waktu kuliah Bunda punya kelompok teman sepermainan gitu.. namanya laskar sekawan.” Aku menjelaskan dengan mimik tak beraturan.
                “Kelompok permainan? Maksudnya kelompok belajar?”
                Toeng! Sepertinya aku salah menjelaskan. Aku pun menjawab dengan pasrah, “Iya, kayak kelompok belajar Icha gitu..tapi kami dulu belajar banyak. Saling menyayangi, belajar rapi, belajar bersih, belajar disiplin. Icha mau nggak belajar kayak gitu sama Bunda”
                “Boleh! Tapi ntar sore makan ayam goreng ya Bund?, Icha mengeluarkan jurusnya. Ia sungguh terinspirasi Upin Ipin.
                Aku menjawabnya dengan acungan jempol. Icha pun mendekat padaku dan tiba-tiba memelukku. Tak kan kulupa perkataannya saat itu “Bunda, jangan lupa kecoanya diusir ya...”. #gubrak
                Akhirnya aku bisa meluluhkan anak ini. Buah hati yang selalu kupuja.
                “Pulpen mati ini nggak sengaja kusimpan Bund”
                “Trus yang ini?”, seraya aku menunjuk barang-barang lain yang perlu dia jelaskan asal-usulnya.
“Permen karet itu dikasih Rini karena dia nggak suka.”
“Trus kenapa disimpan?”
“Soalnya Rini SDnya nggak sama Icha lagi Bund. Ntar kangen gimana? Kalo uang itu dikasih Nenek. Trus cebong itu baru Icha bawa tadi pagi, dikasih Irwan pas maen di selokan. Kalo bando tu kusimpen buat dipake kalo rambutku udah panjang.. biar cantik. Trus....lalalala”
Icha menjelaskan semua alasan kenapa ia menyimpan barang-barang itu hingga lacinya penuh. Aku pun mendengarkan dengan khidmat. Yup! dia tetap memelukku sambil melihatku membereskan barang-barangnya dan mengatur rapi di dalam lacinya. Tak ada satu pun barang yang aku sisihkan. Semua yang Icha lakukan tetap pantas dihargai. Tak sadar seraya merapikan laci Icha, aku menerawang lagi. Rindu ini memang nikmat. Amat nikmat. Aku sering merasakan kedamaian jika mengingat mereka, keluargaku yang tersebar seantero jagat. Terkhusus teman-teman seperjuangan di kampus yang banyak meninggalkan memori indah hingga saat ini. Memori indah yang menyejukkan hati laksana gerimis. Kami  memancing bersama, dinner, menjenguk yang sakit, silaturahim ke rumah salah satu dari mereka, kebut-kebutan, dan banyak  kenangan manis. Pernah juga kami saling tidak sependapat. Banyak perbedaan yang kadang membuat kesal. Tapi selama ukhuwah ini masih berlandaskan iman yang lurus, segala perbedaan akan menjadi indah karena kami tetap memiliki kesamaan yang dipertemukan olehNya. Hingga tiada momen terindah selain berkumpul dengan mereka di syurga. Kami sedang berjuang kesana.


.......................................

                Tok tok tok...
                “Assalamualaikum...”
                “Wa’alaikum salammm..”
                Aku yakin itu suara Anis. Aku pun segera bergegas keluar. Tak kusangka dia datang lebih awal di saat hujan deras seperti ini. Aku membuka pintu perlahan.. entah apa yang kurasakan. Aku merasa sangat bahagia. Kukedipkan mata. Kupandang sosok anggun di hadapanku dengan gamis warna hijau lumut yang membalas kedipanku. Sosok cantik yang tersenyum padaku dengan mata beningnya. Anis masih secantik dulu.
Aku meluncur memeluknya tanpa berkata-kata. Aku dekap erat seakan-akan aku takut ia kedinginan. Aku memeluknya hingga air mataku meleleh hangat. Hingga Anis menepuk punggungku memberi tanda ia ingin aku melepaskan pelukan. Dia tetap tersenyum manis.
                Tiba-tiba Icha sudah berada di pintu menatap kami berdua. Aku pun langsung menggandengnya dan mengenalkannya pada Anis, “Icha, kenalin ini Tante Anis yang Bunda ceritakan kemarin...”.
                Icha diam sejenak dan kemudian tersenyum, ia langsung mencium tangan Anis, kemudian berkata, “Tante Anis anggota laskar sekawan ya?!”
                Anis terhenyak dan menjawab, “I, I..yyya?”
                Icha sumringah mendengarnya, “Aku juga punya kelompok belajar lo Tante, kami menamainya laskar sekawan junior!”
                Hah! Kamipun tergelak bersama. Tak kusangka. Sejuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar