“Bundaaaaaaaaaaaaaaa
Aaaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!”
Akupun terbelalak, “Ada apa adek?!”
“Ituuu!!! Ituuuu!! Ada kecoa! Kecoa!
Hiiiiii!!!!!”. Wajah Icha sungguh lucu karena melihat kecoa itu. Segera ia
menghambur naik ke atas kursi belajarnya. Akupun hanya terbengong melihat
tingkah lucu buah hatiku.
“Bunda, usir aja kecoanya dari rumah ini. Aku
geli Bundaaa!!!”
“Hmm.. iya sayang. Makanya ayo kita bersihkan
laci kamu ini. Siapa hayo yang sering nyimpen barang-barang yang udah nggak
dipakai kaya gini..”
“Bunda, semua itu barang pribadi. Jangan
disentuh! Aku aja baca buku Bunda nggak boleh. Katanya pribadi kan?”
Aku pun nyengir mendengar semua itu, “Icha...
emang kamu bisa baca tulisan Bunda? Karena kamu nggak bisa baca makanya Bunda
nggak mau kasih liat buku Bunda..”
“Ayah mau bacain kok. Lagian tulisan Bunda
bersambung gitu. Aku kan baru kelas 1, belum diajari. Bunda gimana sih!”, jawab
Icha sewot.
Aku terus mengobok-ngobok isi laci Icha tak
menghiraukan gerutuannya. Butuh perjuangan yang panjang hingga akhirnya aku
bisa menjamah barang-barang miliknya. Ternyata selama ini Icha menyembunyikan
kunci lacinya di dalam kulkas. Entahlah apa yang ia pikirkan.
“Ini pulpen udah mati masih disimpan buat apa
hayo? Trus ini permen karet kadaluwarsa? Ada uang limapuluh ribu darimana? Aduh
Icha ini kok ada kecebong di plastik, ntar mati gimana?”, Keningku benar-benar
mengkerut melihat isi laci buah hatiku. Sepertinya aku belum bisa menjadi Ibu
yang baik. Tiba-tiba ada sedikit kekecewaan menyelinap dalam hatiku.
“Trus ini bando dari Bunda kenapa nggak dipakai,
malah disimpan? Kenapa Icha sayang?”
Masih dengan wajah sewot, “Bunda..aku sudah bilang
itu semua barang pribadiku. Semua ada kenangannya Bunda. Bunda juga menyimpan
banyak barang kenangan di kamar kan?”
“Hah? Yang mana Cha?”
“Itu tu kayak boneka, celengan bekas, bunga
kering, selendang, yang ada album fotonya. Trus ada banyak lagi. Masak Bunda
nyimpen undangan kadaluwarsa juga.. ”
Deg!
Tiba-tiba kerinduanku pada mereka terasa sangat.
Seolah-olah ingin bertemu dengan mereka saat ini juga. Ada rasa yang tak
terdefinisikan. Lebih dari rindu. Lebih dari ingin bertemu. Serasa ingin tak
berpisah. Tatapanku menerawang. Teringat semua memori masa kuliah yang selalu
kurindukan. Mataku berkaca-kaca melepaskan semua pikiran. Apa yang mereka
lakukan sekarang? Apakah mereka sebahagia aku merawat buah hati? Apakah ada
yang pilek? Apakah iman mereka baik-baik saja? Ah! Sungguh tak sengaja aku
menyimpan semua barang-barang itu. Sepertinya barang-barang itu begitu saja
tersimpan rapi layaknya memori yang membersamainya yang tersimpan amat rapi.
Boneka itu, aku ingat pertama kali aku
menjumpainya. Tiba-tiba boneka itu muncul di keranjang sepedaku. Hesty juga
menyelipkan surat kecil untukku. Celengan lumba-lumba yang dulu tiba-tiba
nangkring di bantalku, adalah kado miladku. Selendang hadiah pernikahanku dari
Embun. Bunga mawar kering adalah pemberian dari Umi saat ia minta maaf padaku. Album
foto, undangan kadaluwarsa, dan semuanya, aku mengingatnya dengan sangat baik. Mereka
di hatiku. Saudara-saudara seiman yang sangat kusayangi hingga detik ini dan kupastikan
hingga nanti.
Aku mengingat dengan jelas segala wujud kasih
sayang di antara kami. Sesederhana apapun. Masih terasa hangat sampai sekarang.
Benar-benar abstrak namun dimengerti oleh hati. Itulah ukhuwah. Jalinan kokoh
yang timbul antara kami sebagai buah manis dari keimanan ini. Sungguh merupakan
karunia besar aku bisa merasakannya. Ukhuwah inilah yang mampu menjagaku dari
dahsyatnya duniawi. Ukhuwah inilah yang selalu mengingatkanku bahwa ada tempat
paling layak bagi siapa-siapa yang saling mencintai karena Allah. Dan ukhuwah
inilah yang membuatku selalu menyimpan rindu tiada habisnya.
Sudah lama kami tak bersua. Terakhir adalah saat pernikahan
si Herman. Itupun 2 tahun silam. Dan tak semua bisa aku jumpai di sana. Wajar
saja, domisili kami yang sudah menyebar seantero Indonesia merupakan salah satu
faktornya. Rindu sekali hati ini melihat senyum-senyum mereka. Apakah Nana
masih selugu dulu ya? Wajah polosnya tak bisa kulupakan. Apakah Chika masih
sangat keibuan? Dia sering memelukku kapanpun dia mau. Bagaimana dengan si
Rosa? Ara? Ah! Tak bosan aku memikirkan mereka. Kabar dari mereka lebih
berharga daripada kabar-kabar para artis top di televisi.
Tapi jangan salah. Meskipun hampir 2 tahun kami
tak bersua. Hubungan kami tetap lancar. Aku tahu minggu kemarin Desi membuka
toko barunya. Aku tahu Agus sedang berbahagia dengan putra pertamanya. Meskipun
mereka jauh di sana. Tak ada yang mampu menepis bahwa kami merasakan kedekatan
yang tak terhingga. Dan kabar yang paling membahagiakan adalah Anis yang selama
ini berdomisili di Kalimantan akan ke Yogyakarta besuk lusa untuk berlibur. Dia
setuju untuk menginap di tempatku. Aku tak sabar melihatnya berada satu meter
di depanku. Aku tak sabar mengenalkan Icha padanya. Dan aku pasti akan melayani
tamu istimewaku ini semaksimal mungkin.
“Bunda!.. Bunda!”
“Iya!”.. Astaghfirullaha aku tadi melamun.
“Bunda melamun ya.! Itu semua barang-barang Bunda
pas kecil kan?”
Akupun tersenyum dan menghela nafas panjang. Icha
dan ayahnya memang sama-same kepo “_”, “Icha.. itu foto-foto waktu Bunda kuliah
dulu. Waktu Bunda udah gede. Itu barang-barang hadiah dari temen-temen Bunda.”
Icha melongo mendengar jawabanku.
Akupun lanjut menjelaskan, “Iya tu wujud sayang Bunda ke temen-temen Bunda.
Waktu kuliah Bunda punya kelompok teman sepermainan gitu.. namanya laskar
sekawan.” Aku menjelaskan dengan mimik tak beraturan.
“Kelompok permainan? Maksudnya
kelompok belajar?”
Toeng! Sepertinya aku salah
menjelaskan. Aku pun menjawab dengan pasrah, “Iya, kayak kelompok belajar Icha
gitu..tapi kami dulu belajar banyak. Saling menyayangi, belajar rapi, belajar
bersih, belajar disiplin. Icha mau nggak belajar kayak gitu sama Bunda”
“Boleh! Tapi ntar sore makan
ayam goreng ya Bund?, Icha mengeluarkan jurusnya. Ia sungguh terinspirasi Upin
Ipin.
Aku menjawabnya dengan acungan
jempol. Icha pun mendekat padaku dan tiba-tiba memelukku. Tak kan kulupa
perkataannya saat itu “Bunda, jangan lupa kecoanya diusir ya...”. #gubrak
Akhirnya aku bisa meluluhkan
anak ini. Buah hati yang selalu kupuja.
“Pulpen mati ini nggak sengaja
kusimpan Bund”
“Trus yang ini?”, seraya aku
menunjuk barang-barang lain yang perlu dia jelaskan asal-usulnya.
“Permen karet itu dikasih Rini karena dia nggak
suka.”
“Trus kenapa disimpan?”
“Soalnya Rini SDnya nggak sama Icha lagi Bund.
Ntar kangen gimana? Kalo uang itu dikasih Nenek. Trus cebong itu baru Icha bawa
tadi pagi, dikasih Irwan pas maen di selokan. Kalo bando tu kusimpen buat
dipake kalo rambutku udah panjang.. biar cantik. Trus....lalalala”
Icha menjelaskan semua alasan kenapa ia menyimpan
barang-barang itu hingga lacinya penuh. Aku pun mendengarkan dengan khidmat.
Yup! dia tetap memelukku sambil melihatku membereskan barang-barangnya dan
mengatur rapi di dalam lacinya. Tak ada satu pun barang yang aku sisihkan.
Semua yang Icha lakukan tetap pantas dihargai. Tak sadar seraya merapikan laci
Icha, aku menerawang lagi. Rindu ini memang nikmat. Amat nikmat. Aku sering
merasakan kedamaian jika mengingat mereka, keluargaku yang tersebar seantero
jagat. Terkhusus teman-teman seperjuangan di kampus yang banyak meninggalkan
memori indah hingga saat ini. Memori indah yang menyejukkan hati laksana
gerimis. Kami memancing bersama, dinner,
menjenguk yang sakit, silaturahim ke rumah salah satu dari mereka, kebut-kebutan,
dan banyak kenangan manis. Pernah juga
kami saling tidak sependapat. Banyak perbedaan yang kadang membuat kesal. Tapi
selama ukhuwah ini masih berlandaskan iman yang lurus, segala perbedaan akan
menjadi indah karena kami tetap memiliki kesamaan yang dipertemukan olehNya.
Hingga tiada momen terindah selain berkumpul dengan mereka di syurga. Kami
sedang berjuang kesana.
.......................................
Tok tok tok...
“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikum salammm..”
Aku yakin itu suara Anis. Aku
pun segera bergegas keluar. Tak kusangka dia datang lebih awal di saat hujan
deras seperti ini. Aku membuka pintu perlahan.. entah apa yang kurasakan. Aku
merasa sangat bahagia. Kukedipkan mata. Kupandang sosok anggun di hadapanku
dengan gamis warna hijau lumut yang membalas kedipanku. Sosok cantik yang
tersenyum padaku dengan mata beningnya. Anis masih secantik dulu.
Aku meluncur memeluknya tanpa berkata-kata. Aku
dekap erat seakan-akan aku takut ia kedinginan. Aku memeluknya hingga air
mataku meleleh hangat. Hingga Anis menepuk punggungku memberi tanda ia ingin
aku melepaskan pelukan. Dia tetap tersenyum manis.
Tiba-tiba Icha sudah berada di
pintu menatap kami berdua. Aku pun langsung menggandengnya dan mengenalkannya
pada Anis, “Icha, kenalin ini Tante Anis yang Bunda ceritakan kemarin...”.
Icha diam sejenak dan kemudian
tersenyum, ia langsung mencium tangan Anis, kemudian berkata, “Tante Anis
anggota laskar sekawan ya?!”
Anis terhenyak dan menjawab, “I,
I..yyya?”
Icha sumringah mendengarnya,
“Aku juga punya kelompok belajar lo Tante, kami menamainya laskar sekawan
junior!”
Hah! Kamipun tergelak bersama.
Tak kusangka. Sejuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar