Senin tiba lagi. Entah anak sekolah ataupun pekerja
harus lebih berupaya memunculkan semangat pagi ini untuk memulai aktifitas.
Senin identik dengan sebutan hari yang berat.
Padahal apa bedanya dengan hari lain? Jam kerja atau jam sekolah tetap sama. Em.. atau karena Senin adalah hari pertama dalam seminggu? Layaknya
pepatah yang menyatakan bahwa memulai itu susah. Tapi memeliharanya lebih susah
lagi kan?
Tak
begitu dengan Ria yang selalu ceria. Pagi ini seperti biasa ia menunggu
angkutan umum dari depan gang rumah. Hpnya bergetar tanda SMS masuk.
Pagi Ria. Hari ini aku mau tau jawabannya y.
Ria
membaca SMS itu dengan wajah datar. Ia langsung teringat malam minggu kemarin
tiba-tiba Dito datang ke rumah. Itu adalah pertama kalinya Ria didatangi teman
laki-laki. Ayah Ria sempat protes dan membiarkan Dito berdiri di teras. Beda dengan Ibu Ria
yang berusaha memuliakan tamu dengan mempersilahkan masuk serta menyuguhkan teh
hangat. Lalu Ria? Ia gemetar di kamarnya, tak menyangka Dito berani datang ke
rumah. Dito berkata menerima tantangan Ria untuk datang ke rumah jika ia memang
serius ingin lebih dekat dengan Ria. Ria
keluar kamar dengan canggung dan langsung duduk di hadapan Dito.
“Kamu ke sini..em ada apa?” Ria membuka perbincangan
dengan sedikit gemetar.
“Seperti yang aku bilang tadi
pagi, aku ingin kamuu..”
“Ssst!” Ria menempelkan jari
telunjuk ke depan mulut mungilnya. Tak lupa ia melirik seraya mengernyitkan
dahi. Dito langsung paham.
“Kamu ke sini sama siapa?”
“Temenku nunggu di depan sana.”
“Ya sudah.. Kasian temenmu
nungguin. Besok Senin aku kasih ke kamu ya.”
“Apanya?” Dito bertanya serta
mengernyitkan dahi. Lagi-lagi jari telunjuk Ria ada di depan mulutnya disertai
tiga kali kedipan mata.
“Oh iya iya. Aku tunggu ya! Harus
utuh ya!”
“Apanya?” Ria balik mengernyitkan
dahi.
“Bukunya lah...” Dito menyusul
dengan tiga kedipan mata.
Ria mengakhiri malam membawa
resah, Dito pulang dengan gundah.
Malam minggu itu tak akan
terlupakan oleh Ria. Ria mendapat kunjungan pertama dari teman lelakinya serta
malam itu juga Ria diinterogasi habis-habisan oleh ayahnya. Padahal baru sore
harinya ayah Ria menasehati agar Ria lebih fokus untuk menghadapi ujian masuk
perguruan tinggi.
.......................................
Ria gelisah di dalam kelas.
Setelah 18 tahun ia lahir ke dunia, hari ini adalah hari pertama untuk ia
memutuskan sesuatu tentang asmara. Pandangan Ria fokus ke buku namun pikirannya
melayang kesana kemari. Ia teringat pesan orang tuanya agar bisa fokus belajar
demi menggapai impiannya untuk mendapatkan beasiswa unggulan untuk kuliah
nanti. Ria juga terbayang wajah Dito yang beberapa bulan ini mengawasinya saat
jam istirahat. Awalnya Ria merasa kesal dan risih. Namun lama kelamaan ia
justru menanyakan keberadaan Dito saat ia tak masuk sekolah. Ria bingung apa
yang harus dilakukan. Jika ia menjawab tidak, ia akan kehilangan kesempatan
mempunyai pacar seperti teman-temannya. Jika ia menjawab iya, ia takut ketahuan
orang tuanya. Terlebih lagi bapaknya sekarang over protective semenjak kepergian kakak Ria karena kecelakaan.
Drrrttt!! Hp Ria bergetar dari
dalam tas. Ia langsung membukanya.
Hri
ini kamu cantik. Aku ga sbar nunggu istirahat. Kutgu di
kantin jk kamu mau sm aku.
Deg! Ria semakin tidak fokus di
kelas. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bimbang haruskah ke kantin
sekarang atau menahan diri. Kedua tangan Ria saling menggenggam dan penuh
keringat dingin.
“Kamu kenapa Ria?” Lani teman
sebangku Ria heran melihat tingkah Ria.
“Ak ak aku ke kebelet nih...”
“Ih! Ya dah ke toilet sana!” Lani
geleng-geleng melihat tingkah Ria.
Ria spontan mengangkat tangannya
dan bilang pada guru untuk ijin pergi ke toilet. Ia melangkah berat menuju
toilet. Meskipun akhirnya belok ke kantin.
.......................................
“Nggak biasanya kamu belajar
kelompok malam begini?”
“Ini nggak belajar kelompok Yah..
tapi ngerjain soal UTS kelompok. Porsi nilainya besar. Aku nggak mau kalau
nggak datang nanti namaku dilaporkan guru.”
“Iya. tapi kenapa harus malam?
Kenapa nggak di sini aja?”
“Gini deh.. aku janji jam 8 udah
pulang. Boleh ya Yah.. nanti aku bilang ke mereka lain kali kalau ada tugas
kelompok biar di sini aja. Oke?”
“Ayah anter aja kalau begitu.”
“Oh nggak usah Yah.. tadi aku
udah janjian sama Bang Maman buat nganterin. Bang Maman dah nunggu di depan
gang ni. Ya udah aku berangkat keburu telat ya Yah..!”
Ria melangkah cepat mengabaikan
ayahnya yang terlihat masih ingin melanjutkan pembicaraan. Ia menyusuri gang
dengan langkah gempita dan melewati Bang Maman yang mangkal menunggu penumpang.
Dito sudah menunggu di depan gang dengan sepeda motornya.
“Kamu nggak bawain aku helm?” Ria
melihat Dito yang meringis dan menggelengkan kepala.
“Aku udah biasa. Tempatnya juga
deket.”
“Oke...” Ria tersenyum riang. Malam
minggu lagi-lagi menajdi spesial karena menjadi malam pertama ia kencan.
Sepeda motor Dito melaju normal
menembus angin semilir malam. Senyum Ria tak hilang sampai ia menyadari Dito
telah menempus lampu merah di pertigaan. Ria mulai terbayang sesuatu yang mengerikan.
Ia teringat kejadian yang merenggut nyawa kakaknya.
“Eh Dit! Tu tadi merah kok lurus
aja?!” Ria menepuk punggung Dito dengan keras.
Dito diam saja tak bergeming.
“Eh Dit...! Itu bahaya tau!”
Tiba-tiba ada motor polisi yang
membuntuti mereka.
“Eh Dit! Ada polisi ngejar kita
tu!” Ria kembali menepuk punggung Dito dan kali ini lebih keras.
Motor
polisi tersebut akhirnya memberikan isyarat pada Dito untuk berhenti.
“Ria..
tenang aja. Ayahmu kan polisi. Ntar kamu bilang aja ya.. pasti kita dibebasin..”
Ria
diam seribu bahasa. Telinganya panas saat ia mendengar kalimat terakhir Dito.
Mana mungkin Ria membawa ayahnya dalam masalah ini sementara Ria berbohong demi
kencan bersama Dito. Apalagi tindakan Dito telah membahayakan dirinya.
Seorang
polisi gagah dengan sigap turun dari motornya dan mendatangi Dito. Ria memilih
menjauh. Ia memandang Dito dari jarak 5 meter dan ia mulai mengerti bahwa kini
ia terjebak dalam situasi yang salah. Ria membayangkan wajah ayahnya jika
mengetahui apa yang terjadi. Ria yang dibesarkan dalam suasana kedisiplinan
kini mendapati dirinya telah lalai.
Polisi
itu kemudian menghampiri Ria.
“Selamat
malam Dik? Cowok yang di sana benar cowoknya?”
“Bukan
Pak..” Ria menjawab ketus dengan tatapan lurus ke aspal jalanan.
“Trus
ini tadi mau kemana? Kenapa tidak memakai helm?” Pak Polisi bertanya dengan
tegas.
“Pak..
saya hanya penumpang bukan pelaku. Saya boleh pulang Pak? Rumah saya belum jauh
dari sini. Saya bisa naik angkutan yang itu.” Ria menunjuk angkot bewarna pink yang berhenti di seberang jalan.
“Sebentar.
Sabar ya... “ Polisi melambaikan tangan memanggil Dito. Dito berjalan dengan
gontai. Ia mencium ada yang tidak beres dengan Ria.
“Iya
Pak?”
“Begini
ya adik berdua. Saya jelaskan dulu kesalahan kalian dalam berkendara. Pertama
adik pengendara belum mempunyai SIM, kemudian kalian berdua tidak membawa helm,
dan yang paling berbahaya adalah adik pengendara tetap melaju kencang saat lampu merah menyala. Untung saja tidak
terjadi kecelakaan.”
Dito
dan Ria menunduk beku.
“Kalian
masih muda, hindarilah hal-hal yang dapat mengecewakan orang tua. Mengerti?”
“Mengerti
Pak.” Dito menjawab.
“Baik.
Saya akan buatkan surat tilangnya. Baru kalian boleh pergi ya..”
“Pak...
Ayah pacar saya ini polisi juga lo..” Dito memaksa lidahnya bergerak meskipun
tahu bahwa Ria tak mendukungnya. Ia mengangkat kepala seakan menantang polisi
di depannya.
“Pacar?
Mulai detik ini kita putus!” Ria berteriak memotong perkataan Dito.
Dito
melongo.
“Emang
kenapa kalau ayahku polisi. Jelas ayahku nggak akan belain cowok yang nggak
tanggung jawab kaya kamu! Kalau kamu sayang aku, nggak mungkin kamu bahayain
aku.” Ria mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Dito.
“Aku
nggak tanggung jawab?!”
Ria
mengepalkan tangannya. Kejadian ini mengingatkannya pada peristiwa 3 tahun yang
lalu. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kakak tercinta tersambar motor
yang menerobos lampu merah.
“Aku baru sadar. Kamu ngajak aku
bohong. Kamu ngajak aku dalam bahaya! Udah nggak pakai helm eh masih aja
nerobos lampu merah. Kalau kamu sayang aku, kamu nggak akan bahayain aku. Belum
lagi kamu mau manfaatin ayahku!” Muka Ria memerah.
Dito
diam tak berkata-kata. Ia tak menyangka kencan pertamanya akan sedemikian sempurna
untuk mengakhiri pacaran mereka yang baru seminggu.
“Ria...
Ria.. Please jangan di sini..” Dito
berusaha memegang tangan Ria namun Ria mengehampaskannya dengan kuat.
“Ria...
aku minta ma..”
“Stop!
Lebih baik kita pikirkan masa depan kita masing-masing. Semoga peristiwa hari
ini jadi pelajaran buat kamu dan aku.” Ria kembali memotong perkataan Dito.
Ria
kemudian berjalan mendekati polisi yang dari tadi hanya diam menyaksikan
tingkah mereka.
“Pak..
tolong seberangkan saya. Angkutannya mau berangkat..” Ria berjalan menengah
dijalan raya dibarengi polisi. Tak lupa polisi memandang Dito dan menggelengkan
kepalanya. “Kelakuan anak jaman sekarang..”.
*Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda
Motor di Jalan. #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com