Sabtu, 31 Oktober 2015

CINTA RIA DITILANG POLISI



            Senin tiba lagi. Entah anak sekolah ataupun pekerja harus lebih berupaya memunculkan semangat pagi ini untuk memulai aktifitas. Senin identik dengan sebutan hari yang berat.  Padahal apa bedanya dengan hari lain? Jam kerja atau jam sekolah  tetap sama. Em.. atau karena Senin adalah hari pertama dalam seminggu? Layaknya pepatah yang menyatakan bahwa memulai itu susah. Tapi memeliharanya lebih susah lagi kan?
            Tak begitu dengan Ria yang selalu ceria. Pagi ini seperti biasa ia menunggu angkutan umum dari depan gang rumah. Hpnya bergetar tanda SMS masuk.

            Pagi Ria. Hari ini aku mau tau jawabannya y.

            Ria membaca SMS itu dengan wajah datar. Ia langsung teringat malam minggu kemarin tiba-tiba Dito datang ke rumah. Itu adalah pertama kalinya Ria didatangi teman laki-laki. Ayah Ria sempat protes dan membiarkan  Dito berdiri di teras. Beda dengan Ibu Ria yang berusaha memuliakan tamu dengan mempersilahkan masuk serta menyuguhkan teh hangat. Lalu Ria? Ia gemetar di kamarnya, tak menyangka Dito berani datang ke rumah. Dito berkata menerima tantangan Ria untuk datang ke rumah jika ia memang serius ingin lebih dekat dengan Ria.  Ria keluar kamar dengan canggung dan langsung duduk di hadapan Dito.
“Kamu ke sini..em ada apa?” Ria membuka perbincangan dengan sedikit gemetar.
“Seperti yang aku bilang tadi pagi, aku ingin kamuu..”
“Ssst!” Ria menempelkan jari telunjuk ke depan mulut mungilnya. Tak lupa ia melirik seraya mengernyitkan dahi. Dito langsung paham.
“Kamu ke sini sama siapa?”
“Temenku nunggu di depan sana.”
“Ya sudah.. Kasian temenmu nungguin. Besok Senin aku kasih ke kamu ya.”
“Apanya?” Dito bertanya serta mengernyitkan dahi. Lagi-lagi jari telunjuk Ria ada di depan mulutnya disertai tiga kali kedipan mata.
“Oh iya iya. Aku tunggu ya! Harus utuh ya!”
“Apanya?” Ria balik mengernyitkan dahi.
“Bukunya lah...” Dito menyusul dengan tiga kedipan mata.
Ria mengakhiri malam membawa resah, Dito pulang dengan gundah.
Malam minggu itu tak akan terlupakan oleh Ria. Ria mendapat kunjungan pertama dari teman lelakinya serta malam itu juga Ria diinterogasi habis-habisan oleh ayahnya. Padahal baru sore harinya ayah Ria menasehati agar Ria lebih fokus untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.

.......................................

Ria gelisah di dalam kelas. Setelah 18 tahun ia lahir ke dunia, hari ini adalah hari pertama untuk ia memutuskan sesuatu tentang asmara. Pandangan Ria fokus ke buku namun pikirannya melayang kesana kemari. Ia teringat pesan orang tuanya agar bisa fokus belajar demi menggapai impiannya untuk mendapatkan beasiswa unggulan untuk kuliah nanti. Ria juga terbayang wajah Dito yang beberapa bulan ini mengawasinya saat jam istirahat. Awalnya Ria merasa kesal dan risih. Namun lama kelamaan ia justru menanyakan keberadaan Dito saat ia tak masuk sekolah. Ria bingung apa yang harus dilakukan. Jika ia menjawab tidak, ia akan kehilangan kesempatan mempunyai pacar seperti teman-temannya. Jika ia menjawab iya, ia takut ketahuan orang tuanya. Terlebih lagi bapaknya sekarang over protective semenjak kepergian kakak Ria karena kecelakaan.
Drrrttt!! Hp Ria bergetar dari dalam tas. Ia langsung membukanya.

Hri ini kamu cantik. Aku ga sbar nunggu istirahat. Kutgu di kantin jk kamu mau sm aku.

Deg! Ria semakin tidak fokus di kelas. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bimbang haruskah ke kantin sekarang atau menahan diri. Kedua tangan Ria saling menggenggam dan penuh keringat dingin.
“Kamu kenapa Ria?” Lani teman sebangku Ria heran melihat tingkah Ria.
“Ak ak aku ke kebelet nih...”
“Ih! Ya dah ke toilet sana!” Lani geleng-geleng melihat tingkah Ria.
Ria spontan mengangkat tangannya dan bilang pada guru untuk ijin pergi ke toilet. Ia melangkah berat menuju toilet. Meskipun akhirnya belok ke kantin.

.......................................

“Nggak biasanya kamu belajar kelompok  malam begini?”
“Ini nggak belajar kelompok Yah.. tapi ngerjain soal UTS kelompok. Porsi nilainya besar. Aku nggak mau kalau nggak datang nanti namaku dilaporkan guru.”
“Iya. tapi kenapa harus malam? Kenapa nggak di sini aja?”
“Gini deh.. aku janji jam 8 udah pulang. Boleh ya Yah.. nanti aku bilang ke mereka lain kali kalau ada tugas kelompok biar di sini aja. Oke?”
“Ayah anter aja kalau begitu.”
“Oh nggak usah Yah.. tadi aku udah janjian sama Bang Maman buat nganterin. Bang Maman dah nunggu di depan gang ni. Ya udah aku berangkat keburu telat ya Yah..!”
Ria melangkah cepat mengabaikan ayahnya yang terlihat masih ingin melanjutkan pembicaraan. Ia menyusuri gang dengan langkah gempita dan melewati Bang Maman yang mangkal menunggu penumpang. Dito sudah menunggu di depan gang dengan sepeda motornya.
“Kamu nggak bawain aku helm?” Ria melihat Dito yang meringis dan menggelengkan kepala.
“Aku udah biasa. Tempatnya juga deket.”
“Oke...” Ria tersenyum riang. Malam minggu lagi-lagi menajdi spesial karena menjadi malam pertama ia kencan.
Sepeda motor Dito melaju normal menembus angin semilir malam. Senyum Ria tak hilang sampai ia menyadari Dito telah menempus lampu merah di pertigaan. Ria mulai terbayang sesuatu yang mengerikan. Ia teringat kejadian yang merenggut nyawa kakaknya.
“Eh Dit! Tu tadi merah kok lurus aja?!” Ria menepuk punggung Dito dengan keras.
Dito diam saja tak bergeming.
“Eh Dit...! Itu bahaya tau!”
Tiba-tiba ada motor polisi yang membuntuti mereka.
“Eh Dit! Ada polisi ngejar kita tu!” Ria kembali menepuk punggung Dito dan kali ini lebih keras.
            Motor polisi tersebut akhirnya memberikan isyarat pada Dito untuk berhenti.
            “Ria.. tenang aja. Ayahmu kan polisi. Ntar kamu bilang aja ya.. pasti kita dibebasin..”
            Ria diam seribu bahasa. Telinganya panas saat ia mendengar kalimat terakhir Dito. Mana mungkin Ria membawa ayahnya dalam masalah ini sementara Ria berbohong demi kencan bersama Dito. Apalagi tindakan Dito telah membahayakan dirinya.
            Seorang polisi gagah dengan sigap turun dari motornya dan mendatangi Dito. Ria memilih menjauh. Ia memandang Dito dari jarak 5 meter dan ia mulai mengerti bahwa kini ia terjebak dalam situasi yang salah. Ria membayangkan wajah ayahnya jika mengetahui apa yang terjadi. Ria yang dibesarkan dalam suasana kedisiplinan kini mendapati dirinya telah lalai.
            Polisi itu kemudian menghampiri Ria.
            “Selamat malam Dik? Cowok yang di sana benar cowoknya?”
            “Bukan Pak..” Ria menjawab ketus dengan tatapan lurus ke aspal jalanan.
            “Trus ini tadi mau kemana? Kenapa tidak memakai helm?” Pak Polisi bertanya dengan tegas.
            “Pak.. saya hanya penumpang bukan pelaku. Saya boleh pulang Pak? Rumah saya belum jauh dari sini. Saya bisa naik angkutan yang itu.” Ria menunjuk angkot bewarna pink yang berhenti di seberang jalan.
            “Sebentar. Sabar ya... “ Polisi melambaikan tangan memanggil Dito. Dito berjalan dengan gontai. Ia mencium ada yang tidak beres dengan Ria.
            “Iya Pak?”
        “Begini ya adik berdua. Saya jelaskan dulu kesalahan kalian dalam berkendara. Pertama adik pengendara belum mempunyai SIM, kemudian kalian berdua tidak membawa helm, dan yang paling berbahaya adalah adik pengendara tetap melaju kencang  saat lampu merah menyala. Untung saja tidak terjadi kecelakaan.”
            Dito dan Ria menunduk beku.
            “Kalian masih muda, hindarilah hal-hal yang dapat mengecewakan orang tua. Mengerti?”
            “Mengerti Pak.” Dito menjawab.
            “Baik. Saya akan buatkan surat tilangnya. Baru kalian boleh pergi ya..”
            “Pak... Ayah pacar saya ini polisi juga lo..” Dito memaksa lidahnya bergerak meskipun tahu bahwa Ria tak mendukungnya. Ia mengangkat kepala seakan menantang polisi di depannya.
            “Pacar? Mulai detik ini kita putus!” Ria berteriak memotong perkataan Dito.
            Dito melongo.
           “Emang kenapa kalau ayahku polisi. Jelas ayahku nggak akan belain cowok yang nggak tanggung jawab kaya kamu! Kalau kamu sayang aku, nggak mungkin kamu bahayain aku.” Ria mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Dito.
            “Aku nggak tanggung jawab?!”
          Ria mengepalkan tangannya. Kejadian ini mengingatkannya pada peristiwa 3 tahun yang lalu. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kakak tercinta tersambar motor yang menerobos lampu merah.
“Aku baru sadar. Kamu ngajak aku bohong. Kamu ngajak aku dalam bahaya! Udah nggak pakai helm eh masih aja nerobos lampu merah. Kalau kamu sayang aku, kamu nggak akan bahayain aku. Belum lagi kamu mau manfaatin ayahku!” Muka Ria memerah.
            Dito diam tak berkata-kata. Ia tak menyangka kencan pertamanya akan sedemikian sempurna untuk mengakhiri pacaran mereka yang baru seminggu.
      “Ria... Ria.. Please jangan di sini..” Dito berusaha memegang tangan Ria namun Ria mengehampaskannya dengan kuat.
            “Ria... aku minta ma..”
        “Stop! Lebih baik kita pikirkan masa depan kita masing-masing. Semoga peristiwa hari ini jadi pelajaran buat kamu dan aku.” Ria kembali memotong perkataan Dito.
            Ria kemudian berjalan mendekati polisi yang dari tadi hanya diam menyaksikan tingkah mereka.
            “Pak.. tolong seberangkan saya. Angkutannya mau berangkat..” Ria berjalan menengah dijalan raya dibarengi polisi. Tak lupa polisi memandang Dito dan menggelengkan kepalanya. “Kelakuan anak jaman sekarang..”.           

 *Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan. #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar