Mendung
berjalan mencari tempat yang tepat untuk meneteskan air. Tak tahu mana yang ia
pilih. Ini adalah fenomena alam yang akan sering kita lihat di musim hujan.
Hujan. Kata yang sering diselipkan dalam puisi untuk menggambarkan kedamaian.
Kata yang sering diselipkan dalam kalimat sebagai keterangan beserta alasan. Hujan. Tak dapat dipungkiri hujan seringkali disalahkan.
Mereka yang harus menunda pulang karena lupa membawa jas hujan. Mereka yang
akhirnya tutup lapak karena sepi pembeli. Mereka yang gagal kencan.
Semua
itu tak ada di pikiran Vene. Ia sangat suka hujan. Saat gerimis datang, tak
lupa ia membentangkan dua tangannya seolah-oleh membentangkan kedua sayapnya
yang anggun. Saat hujan deras pun ia mensyukurinya dengan tetap produktif.
Begitu juga pada hujan sore ini. Setelah memandikan Zahra dan Iqbal, ia bisa
sejenak membaca buku di bangku depan rumah seraya menunggu kedua anaknya pulang
dari TPA. Hujan seperti ini tak membuat Vene khawatir. Ia sudah membekali kedua
anaknya dengan payung.
Vene
tampak serius membaca buku yang ada di tangannya. Halaman demi halaman tak ia
lewatkan tanpa anggukan. Vene suka sekali membaca buku terutama buku biografi.
Dan yang ia baca sekarang adalah Biografi Ratu Victoria. Baginya, sangat benar
makna dari peribahasa “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati
meninggalkan belang”. Ia meyakini bahwa semua orang-orang hebat itu melewati
hidupnya dengan penuh kerja keras. Vene mantap bahwa dia bisa mewujudkan
impiannya dengan kerja keras. Semua biografi orang yang mempuyai peran dalam
sejarah ia lahap. Cita-citanya menancap kokoh dalam lubuk hati paling dalam
yaitu ingin menjadi seperti mereka. Meskipun keadaan Vene yang sekarang harus
mengurusi kedua anak dan suaminya, impian Vene tetap sama. Entah itu sejarah
apa. Ia hanya ingin kelak ia tidak mati sia-sia. Ia ingin banyak orang
merasakan kebermanfaatannya terus-menerus. Atau mungkin kelak ada orang sukses
berkat dia di belakangnya. Ia sering sekali membayangkan namanya kelak dikenang
karena karya yang dibuatnya. Atau mungkin ia berhasil menginspirasi banyak
orang di negara ini, Indonesia. Ahh.. Hati Vene selalu berhati-hati dalam
bermimpi, ia tak mau mendapatkan kebahagiaan yang akan menumbuhkan kesombongan
pada dirinya.
“Assalamualaikum... Mbak Vene, lagi
apa? “
“Waalaikum salam.. aduh adek-adek dah
pulang. Kok masih manggil Mbak Vene sih? Kenapa hayo?”
“Eh iya salah, Mama Vene hehe. Lum
terbiasa sih.. “
“Iya nggak papa, Mama malah seneng
dipanggil mbak biar kesannya Mama muda terus. Ya nggak?”. Mereka pun tertawa
bersama di teras depan.
“Loh adek Iqbal mana kok nggak pulang
bareng?”
“Oh iya! Adek tadi minta dipamitin. Ia
nginep di tempat simbah. Tadi simbah lewat depan masjid.. eh si adek ngikut
deh..”
“O
ya udah, ayo kakak masuk ke dalam.. mukenanya ditaruh kamar dulu”
“Oke
ma...!”
Sore
itu tiba-tiba Vene merasakan batinnya sesak. Ia rindu pada kedua orang tuanya.
Ia ingat saat dulu SD sering dijemput bapaknya menggunakan sepeda unta. Vene
merasakan waktu berjalan dengan sangat cepat dan kini ia mendapatkan peran yang
tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Yaitu menjadi istri dari mantan kakak
iparnya.
..............................
Mentari
pagi menyorotkan sinar tajamnya. Alam seakan gembira menyambut datangnya pagi
itu. Rumput-rumput bergoyang dan burung-burung berdendang tak kenal kesedihan.
Namun sinar hangat itu tak membawa perubahan pada suasana hati Vene. Hatinya
hancur berkeping-keping, seakan hidup sebatang kara di dunia, tanpa teman,
tanpa musuh. Mata sembabnya tak bisa menutupi bahwa ia menangis semalam.
“Dek
Vene, bisa minta tolong buatin telur ceplok buat Iqbal? Mas harus ke rumah pak RW sebentar”, Mas Zaki bicara
sambil berlalu.
Vene
mengangguk tanda menyanggupi. Vene menuju dapur dengan langkah gontai. Semua ia
lakukan dengan pandangan kosong. Iqbal membuntutinya dari belakang. Ia sudah
menahan lapar.
“Mbak
Vene.., mbak...”
Vene
menjawab dengan senyuman kecil yang ia munculkan dengan usaha keras. “Iya, apa
Dek Iqbal sayang?”
“Bunda
selalu buatin telur ceplok buat Iqbal setiap hari. Setelah mandi pagi Iqbal
bisa langsung sarapan. Iqbal kangen banget sama bunda...”, Iqbal bicara dengan merajuk.
Vene
tak kuat menahan air matanya, pundaknya bergetar menahan getir. Namun ia tetap
membisu seraya memegang telur yang belum ia pecah sedari tadi. Dengan suara
serak, Vene mencoba menjawab dengan kekuatan hati yang ia miliki.
“Dek
Iqbal sayang,.. maafin mbak ya. Mulai besuk mbak akan masak telur ceplok
kesukaan Iqbal setiap hari. Asal iqbal juga mau makan sayur yang mbak masakin.
Gimana?”
“Oke
mbak!!”
Vene
tak menyangka akan secepat ini kehilangan Mbak Har, keluarga satu-satunya. Vene
kecil hanya sejenak merasakan kasih sayang seorang Bapak. Waktu kelas 3 SD,
Vene sah menjadi seorang yatim piatu dan mengekor kemana saja kakaknya pergi.
Hingga kakaknya menikah, mempunyai dua anak, dan hingga kakaknya pergi
meninggalkannya. Sendiri.
........................................
“Mas,
aku sudah memikirkannya...”
“Tak
usahlah kau memusingkan apa perkataan orang nantinya. Ini hidup kita. Mbakmu
selalu berpesan padaku untuk menjagamu hingga kelak kau dewasa. Mas nggak akan
menyuruhmu putus sekolah. Setahun lagi kamu juga lulus. Mas yakin kamu bisa
membagi waktu untuk menjaga dua adekmu.”
“Tapi
mas...t.t.t.. tapi..”, Vene membiarkan air bening itu leluasa membasahi pipinya
yang merah.
Suara
hening...
“Tapi
aku sudah punya pacar mas.. “
“Ini
adalah amanat dari mbakmu. Dan ini adalah juga tanggung jawabku. Tapi
pernikahan ini tidak akan berlangsung tanpa persetujuan darimu”
Vene
menangis sesenggukan. Suasana masih hening. Burung-burung yang berkicau
seakan-akan menghentikan gurauannya dan mencoba simpati kepada keadaan Vene.
Vene
tak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini, tapi ia tak pernah
menyalahkan siapapun. Ia selalu tegar, seperti ketegaran orang-orang hebat yang
ia kagumi. Mas Zaki adalah orang terbaik dalam hidup Vene. Tapi ia tak pernah
menyangka jalan hidupnya akan seperti ini.
Mas
Zaki menerawang jauh, ia juga tak pernah membayangkan kehilangan istri yang
sangat ia sayangi. Rasa kehilangan itu telah merapuhkannya akhir-akhir ini.
Badannya kurus dan semangatnya menurun setengah. Belahan jiwanya pergi begitu
cepat. Di saat buah hati mereka sedang tumbuh dengan cerdasnya. Ia hanya ingin
menjalankan amanat istrinya. Menikahi Vene adalah jalan satu-satunya. Ia tak
ingin Vene menjadi orang lain dan sendiri menghadapi hidup ini.
“Mas
Zaki.., aku masih punya banyak impian yang belum aku wujudkan. Aku ingin pergi
sekolah ke luar negeri. Aku ingin menjadi aktivis perempuan. Aku ingin memiliki
peran dalam sejarahh! ”
“Trus?”,
Maz Zaki menanggapi dengan datar.
“Aku
nggak akan bisa menggapai impianku jika aku menikah sekarang. Aku adalah Vene
anak yatim piatu yang tak punya apa-apa lagi selain impian-impianku”
“Kau
punya aku, Ven, Masmu..”
“Mas Zaki hanyalah mantan kakak iparku..”
“Aku
akan jadi mantan kakak iparmu sekaligus manjadi milikmu jika kau mau menikah
denganku. Jika tidak, aku kan menjadi kakak iparmu sampai kapanpun.”
......................................
“Mama!”
“Iya
Iqbal.. tak perlu teriak-teriak seperti itu. Telur ceploknya di meja makan tu,
dibagi sama Kak zahra ya..”
“Beres
deh Ma..!”
Vene
sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Hari ini ia membereskan semuanya lebih
pagi karena harus menghadiri undangan dari sekolah Zahra.
“Ma,
undangannya jam 8 lo ya. Jangan sampai telat.”
“Tenang..
Mama nggak akan telat. Mama akan berangkat bareng kalian.”
“Loh..
trus papa?”
“Papa
nanti dari kantor langsung nyusul ke sekolah”
“Loh..kok
pisah? Mama cerai berai ya ma Papa?”
“Huz!
Enggak, waduh dampak nonton sinetron ya ni..Mama Papa nanti pulangnya barengan
kok.. .”
“Ciye
Ciye...! “
Merekapun
tertawa bersama.
Vene kini sadar. Inilah jalan untuk
menggapai impiannya. Memiliki peran dalam sejarah. Sejarah dalam keluarganya. Sejarah
hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar